Senin, 23 Februari 2015

Person Centered Therapy

Person Centered Therapy
Oleh
Neng Triyaningsih Suryaman (1726149026) , Rahayu Prihantari (1726149019),
& Reni Oktora Tarigan (1726149023)
Kelas Non reguler
S2 Bimbingan Konseling FIP
Universitas Negeri Jakarta
 


PENDAHULUAN

Pendekatan person-centered didasarkan pada suatu konsep dari psikologi humanistik, dan diklasifikasikan sebagai cabang dari perspektif eksistensial yang dikembangkan oleh Carl Person Rogers.
Pada awal perkembangannya, Rogers mengembangkan pendekatan konseling non-directive centered sebagai reaksi terhadap teori-teori konseling yang berkembang saat itu yang terlalu berorientasi pada konselor (directive counseling)Tahun 1951, Rogers mengganti nama pendekatan non direktif menjadi client-centered (Gantina K., dkk, 2011). Pendekatan client-centered dikembangkan sehubungan dengan perubahan pandangan tentang konseling yang menekankan pada upaya reflektif terhadap perasaan klien. Pada tahun 1957, Rogers mengubah kembali pendekatannya menjadi person-centered, yang memandang konseli sebagai partner dan perlu adanya keserasian pengalaman, baik pada konseli maupun konselor dan keduanya perlu mengemukakan pengalamannya pada saat hubungan konseling berlangsung.
Konselor dalam pendekatan person-centered memiliki kepercayaan bahwa konseli merupakan manusia yang memiliki worth dan dignity dalam diri, sehingga ia layak diberikan penghargaan (respect). Konseli juga dipercaya sebagai manusia yang memiliki kapasitas dan hal untuk mengatur dirinya sendiri, mendapat kesempatan dan membuat penilaian yang bijaksana. Selain itu, konseli sebagai manusia yang dapat memilih nilainya sendiri, dapat belajar untuk bertanggung jawab secara konstruktif, memiliki kapasitas untuk mengatasi perasaan, pikiran, dan tingkah lakunya, serta memiliki potensi untuk berubah secara konstruktif dan dapat berkembang ke arah hidup yang penuh dan memuaskan (full dan satisfiying life) dengan kata lain aktualisasi diri (self-actualisation) (Thompson, et.al., 2004 dalam Gantina K., dkk, 2011).
Pada pendekatan ini, konselor memberikan kepercayaan kepada konseli sebagai manusia yang mampu menemukan dan mengatasi permasalahan sendiri, sehingga kami berpendapat bahwa selama proses konseling, konseli mungkin mengembangkan pemahaman yang lebih tentang tujuan mereka sebenarnya.
Pendekatan ini juga menunjukkan hubungan konseli dan konselor menjalin hubungan seperti partner, sehingga pendekatan person-centered dibutuhkan hubungan interpersonal antara konselor dan klien, sehingga terbentuk kontak psikologis yang terbangun, dan keberhasilan proses konseling pada pendekatan ini ditentukan oleh komunikasi antara klien dan konselor.

ANALISA

Proses konseling pada pendekatan person-centered, konselor memiliki ciri pribadi atau sikap yang diungkapkan oleh Rogers bahwa tiga ciri pribadi atau sikap konselor merupakan bagian sentral dari hubungan terapeutik, yaitu bersikap (1) congruence atau genuineness (kongruen atau keaslian), (2) unconditional positive regard and acceptance (perhatian positif tidak bersyarat), dan (3) accurate empathic understanding (pemahaman empati yang akurat) (Corey, 2005).
Sikap pertama konselor dalam pendekatan ini adalah kongruen. Congruence (kongruensi) kata lainnya adalah ketulusan, realness (tidak berpura-pura), keterbukaan, transparansi, dan presence (kesadaran). Kongruensi adalah kondisi sikap yang paling mendasar. Konselor perlu memiliki hubungan dengan perasaan-perasaan yang mereka alami. Konselor seharusnya menghindari pendekatan intelektual yang kliennya diperlakukan sebagai objek. Konselor yang kongruen tidak sedang memainkan peran apa pun, mencoba bersikap sopan, atau menampakkan penampilan profesional. Rogers mengakui bahwa tidak seorang pun setiap saat mampu mencapai kongruensi (Richard Nelson dalam Helly P. & Sri M. Soetjipto, 2011).
Kedua, konselor memiliki perhatian positif tidak bersyarat kepada konseli, yang bukan berarti konselor menerima seluruh perilaku konseli, tetapi mendeskripsikan kondisi yang hangat, memberikan perhatian, penghargaan, penerimaan, dan penghormatan yang tulus kepada konseli pada saat proses konseling, sehingga konseli merasa dihargai sebagai seorang manusia dan dapat menunjukkan segala perasaan dan kejadian yang dialami dengan penerimaan dari konselor.
Berikutnya yang ketiga adalah konselor berempati terhadap konseli. Menurut Rogers (Helly P. & Sri M. Soetjipto, 2011) empati adalah sebuah sikap, sebuah bentuk pertemanan yang sangat istimewa, sebuah cara yang lembut dan sensitif untuk berhubungan dengan konseli. Akan tetapi, refleksi mekanisme yang sepenuhnya disengaja sama sekali bukan bagian dari empati.
Ketiga kondisi tersebut menggambarkan fasilitas lingkungan sosial, yang juga terdapat kontak psikologis antara konselor dan konseli, di mana konseli berada dalam keadaan ketidaksesuaian dan tertekan dalam beberapa hal yang akhirnya komunikasi dengan konseli tercapai dengan ketiga sikap konselor tersebut. Meskipun begitu, person-centered tidak secara rutin mengambil sejarah kasus, menilai, atau mendiagnosa konseli (Stephen Joseph & David Murphy, 2013).
Berkenaan dengan sikap konselor yang menunjukkan keaslian dalam merespon konseli pada saat proses konseling, memberikan perhatian positif dengan tulus, dan berempati seperti yang dijelaskan sebelumnya, pendekatan person-centered dengan menggunakan teknik konseling kelompok dapat meningkatkan konsep diri, mengurangi depresi dan meningkatkan ketahanan terutama dalam kasus seperti remaja yang hamil di luar nikah (Fauziaah Sa’ad, dkk, 2014).
Selain itu, pendekatan person-centered memiliki potensi yang sangat berguna dalam menunjukkan penderitaan psikologis dari remaja lesbi, gay, bisexual, transgender/sexual (LGBT) selama tingkatan penyingkapan orientasi seksual. Prinsip humanistik dari pendekatan person-centered, khususnya yang dikenal “tiga besar” prinsip kongruensi, empati, dan perhatian positif tidak bersyarat, dapat membantu konseli remaja LGBT dengan sebuah hubungan terapetik yang memudahkan eksplorasi diri dan pemahaman diri (S. Jim Lemoire & Charles P. Chen, 2005).
Pendekatan person-centered juga memfasilitasi dan memperhatikan aspek-aspek positif dari kesehatan, ketahanan, sumber daya, dan kualitas hidup. Pendekatan ini penting untuk pengobatan klinis, pencegahan dan rehabilitasi. Pendekatan ini konsisten dengan definisi kesehatan yang dikeluarkan oleh organisasi kesehatan dunia (1999), yang melihat kesehatan tidak menjadi terbatas pada tidak adanya penyakit atau adanya penyakit, melainkan melibatkan keadaan lengkap, yaitu fisik, sosial, dan emosional (Juan E. Mezzich, dkk, 2013).
Hal tersebut menunjukkan bahwa pendekatan ini memberikan kontribusi juga terhadap aspek kesehatan, seperti pada tulisan Bill Fulford, Laurie Bryant, dan  Lu Duhig (Bill Fulford, dkk, 2010) yang membahas pendekatan person-centered dari aspek bidang perawatan, alokasi sumber daya, dan praktik etis yang sangat peduli dengan pasien. Dikatakan bahwa konseling person-centered memiliki tiga aspek yang menjadi kunci pada proses terapi, yaitu kepentingan umum dalam konsultasi, termasuk pasien dan perawat, serta profesional. Terapi person-centered biasanya diberikan kepada pasien yang mengalami demensia atau pasien yang mengalami kecacatan agar mereka dapat bangkit dan ingin belajar menerima kondisi barunya. Sehingga terapi person-centered dalam pelaksanaannya, dilaksanakan dengan program kemitraan oleh pihak rumah sakit dan profesional lainnya.
Masalah-masalah tersebut, yang terjadi pada konseli pada pendekatan person-centered pada dasarnya adalah mengenai konsep diri (self concept). Konsep diri menurut Rogers (Corey, 2009) adalah bagian sadar dari ruang fenomenal yang disadari dan disimbolisasikan, di mana “aku” merupakan pusat referensi setiap pengalaman. Konsep diri merupakan bagian inti dari pengalaman individu yang secara perlahan dibedakan dan disimbolisasikan sebagai bayangan tentang diri yang mengatakan “apa dan siapa aku sebenarnya” dan “apa yang sebenarnya harus aku perbuat`”. Jadi, konsep diri adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku.
Konsep diri dibagi menjadi dua, yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal. Dalam menunjukkan kedua konsep tersebut sesuai atau tidak, Rogers (Corey, 2009) menunjukkan dua konsep yang dinamakan incongruence dan congruence. Incongruence adalah ketidakcocokan antara self yang dirasakan dalam pengalaman aktual disertai pertentangan dan kekacauan batin. Sedangkan congruence adalah situasi pengalaman diri yang diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang utuh, integral, dan sejati. Contohnya adalah kasus Ruth, yang menunjukkan bahwa konsep dirinya adalah anak dan istri yang baik yang menuruti perkataan orang tua dan suaminya. Ruth menganggap dirinya harus menjadi istri dan anak yang baik agar orang tua dan suaminya merasa senang dengan sikapnya tersebut. Namun pada kenyataannya kedua konsep dirinya bertentangan karena Ruth merasakan tertekan dengan ideal self nya tersebut yang berusaha membahagiakan suami dan orangtuanya dengan bersikap baik namun merasa tetap tidak pernah cukup hingga Ruth terus merasa bersalah, tertekan, dan takut ditinggalkan. Maka, dalam hal ini konselor membantunya dengan pendekatan person-centered.
Salah satu kekuatan dari pendekatan person-centered adalah bahwa pendekatan ini tidak dogmatik dan konselor memiliki jenjang mereka sendiri untuk mengembangkan gaya konseling mereka sendiri. Konselor bisa menjadi person-centered dan berpraktik dengan cara yang beraneka ragam, selama mereka menunjukkan suatu kepercayaan pada inti kondisi terapeutik dan selama praktek mereka tidak mengintervensi kapasitas konseli untuk menemukan sendiri jalan terbaik mereka (Corey, 2005).
            Dengan begitu, karena proses konseling pada pendekatan person-centered  adalah fleksibel, yaitu konselor mengembangkan gaya konseling mereka sendiri, maka pada pendekatan person-centered dibutuhkan hubungan interpersonal antara konselor dan klien, sehingga terbentuk kontak psikologis yang terbangun, dan keberhasilan proses konseling pada pendekatan ini ditentukan oleh komunikasi antara klien dan konselor.
Corey (Gantika K., dkk, 2011) mengatakan bahwa konselor harus memperlihatkan berbagai keterampilan interpersonal yang dibutuhkan dalam proses konseling. Keterampilan-keterampilan tersebut antara lain, (1) Mendengar Aktif (Active Listening), yaitu memperhatikan perkataan konseli, sensitif terhadap kata atau kalimat yang diucpkan, intonasi dan bahasa tubuh konseli. (2) Mengulang Kembali (Restating/paraphrasing), yaitu mengulang perkataan konseli dengan kalimat yang berbeda. (3) Memperjelas (clarifying), yaitu merespon pernyataan atau pesan konseli yang membingungkan dan tidak jelas, dengan memfokuskan pada isu-isu utama dan membantu individu tersebut untuk menemukan dan memperjelas perasaan-perasaannya yang bertolak belakang. (4) Menyimpulkan (Summarizing), yaitu keterampilan konselor untuk menganalisis seluruh elemen-elemen penting yang muncul dalam seluruh atau bagian sesi konseling. (5) Bertanya (Questioning), bertujuan untuk menggali informasi yang lebih dalam dari konseli. (6) Menginterpretasi (Interpreting), yaitu kemampuan konselor dalam menginterpretasi pikiran, perasaan, atau tingkah laku konseli yang bertujuan untuk memberikan perspektif alternatif dan baru. (7) Mengkonfrontasi (Confronting), yaitu cara yang kuat untuk menantang konseli untuk melihat dirinya secara jujur. (8) Merefleksikan Perasaan (Reflecting Feeling), yaitu kemampuan untuk merespon terhadap esensi perkataan konseli. (9) Memberikan Dukungan (Supporting), yaitu upaya memberikan penguatan kepada konseli, terutama ketika mereka berhasil membuka informasi-informasi personal. (10) Berempati (Empathizing), yaitu kemampuan pemimpin kelompok untuk sensitif terhadap hal-hal subyektif konseli. (11) Memfasilitasi (Facilitating), tujuannya adalah memberdayakan konseli untuk mencapai tujuan-tujuannya. Beberapa cara yang spesifik yang dapat dilakukan konselor dalam memfasilitasi konselinya, antara lain, (a) memfokuskan pada resistensi dalam diri konseli membantu konseli untuk menyadarinya, (b) mengajarkan konseli untuk memfokuskan pada dirinya dan perasaan-perasaannya, (c) mengajarkan konseli untuk berbicara secara langsung dan jujur, (d) menciptakan situasi yang aman yang memberikan keberanian bagi konseli untuk mengambil resiko, (e) memberikan dukungan kepada konseli ketika mereka mencoba tingkah laku baru, (f) membantu konseli untuk memiliki sikap terbuka terhadap konflik, (g) membantu konseli untuk mengatasi hambatan untuk berkomunikasi secara langsung, (h) membantu konseli untuk mengintergrasikan apa yang mereka pelajari dalam proses konseling dan strategi untuk mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. (12) Memulai (initiating), yaitu keterampilan untuk memulai kegiatan dalam proses konseling, seperti diskusi, menentukan tujuan, mencari alternatif solusi dan sebagainya.  (13) Menentukan Tujuan (Setting Goals), yaitu keterampilan untuk menentukan tujuan konseling, di sini konselor harus dapat menstimulasi konselinya menentukan dan memperjelas tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam konseling. (14) Mengevaluasi (Evaluating), yaitu keterampilan untuk mengevaluasi keseluruhan proses konseling, karena evaluasi merupakan kegiatan yang berkelanjutan.. (15) Memberikan umpan balik (giving feedback), yaitu keterampilan konselor untuk memberikan umpan balik yang spesifik, deskriptif dan jujur atas dasar observasi dan reaksi terhadap tingkah laku konseli. (16) Menjaga (Protecting), yaitu upaya konselor untuk menjaga konselinya dari kemungkinan resiko-resiko psikologis dan fisik yang tidak perlu. (17) Mendekatkan diri (Disclosing Self), yaitu kemampuan membuka informasi-informasi personal dengan tujuan membuat konseli menjadi lebih terbuka. (18) Mencontoh Model (Modeling), yaitu konseli belajar dari mengobservasi tingkah laku konselor. Untuk itu, konselor harus dapat menampilkan nilai-nilai keujuran, penghargaan, keterbukaan, mau mengambil resiko, dan asertif. (19) Mengakhiri (Terminating), yaitu keterampilan konselor untuk menentukan waktu dan cara mengakhiri kegiatan konseling.
                  Keterampilan tersebut harus dimiliki konselor yang dapat digunakan pada saat proses konseling, agar tujuan dari konseling tercapai. Tujuan dari konseling dengan pendekatan person-centered dijawab dengan dua cara oleh Richard Nelson (dalam Helly P. & Sri M. Soetjipto, 2011), yaitu pertama, tujuan masing-masing klien dalam terapi, dan kedua, tujuan secara keseluruhan yang merefleksikan potensi pertumbuhan manusia. Konseli dalam konseling person-centered bertanggung jawab atas maksud dan tujuan yang mereka miliki. Konselor tidak memberi tahu konseli ke mana mereka seharusnya menuju dan bagaimana cara mencapai tujuan itu. Di awal konseling tidak ada proses asesmen dan penetapan tujuan. Konseling person-centered memfokuskan pada membantu konseli agar lebih dekat dengan perasaan dan proses organismic valuing-nya. Selama proses ini konseli mungkin mengembangkan pemahaman yang lebih tentang tujuan mereka sebenarnya.
PENUTUP

Pendekatan person-centered lebih mengutamakan potensi yang dimiliki oleh konseli dalam memecahkan permasalahnya sendiri. Hal tersebut dikarenakan, konseli pada pendekatan ini diyakini oleh Rogers sebagai manusia yang memiliki worth dan dignity di dalam dirinya. Oleh karenanya, konseli layak diberikan penghargaan (respect). Konseli juga dipercaya memiliki kapasitas untuk mengatur dirinya sendiri, dan diberikan kesempatan membuat penilaian yang bijaksana, serta dipercaya mampu memilih nilainya sendiri.  
Tiga ciri dari sikap konselor yang dibutuhkan dan terkenal pada pendekatan person-centereddalam membantu keberhasilan proses konseling adalah kongruen atau keaslian konselor, perhatian positif tidak bersyarat yang diberikan konselor pada konseli, dan pemahaman empati yang akurat. Sikap konselor dapat membantu konseli melihat konsep dirinya dan mengatasi apabila konsep dirinya mengalami ketidak sesuaian (incongruence).
Keberadaan sikap konselor tersebut dilakukan agar tujuan dari konseling dapat tercapai, diikuti dengan keterampilan interpersonal yang dimiliki konselor. Tujuan konseling dalam pendekatan person-centered adalah membantu konseli menemukan konsep dirinya yang lebih positif melalui komunikasi pada saat proses konseling, dengan memandang konseli sebagai individu yang berharga, penting, dan memiliki potensi positif dengan penerimaan tidak bersyarat dari konselor.













DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. (2005). Theory and practice of counseling and psychotherapy.(8thed). United States of America: Thomson Brooks/Cole.
Corey, G. (2009). Case approach to counseling and psychotherapy. (8th ed). United States of America: Brooks/Cole.
Fulford, B., Bryant, L., &Duhig, L. (2010). Three keys to a shared vision of diagnostic assessment: an initiative in person-centered care from the department of health in the UK. International journal of integrated-ISSN 1568-4156, Vol. 10.
Joseph, S. & Murphy, D. (2013). Person Centered approach, positive psychology, and relational helping: Building Bridges. Journal of humanistic psychology, 53 (1), 26-51.
Komalasari, G., Wahyuni E., Karsih. (2011). Teoridanteknikkonseling.Jakarta: PT. Indeks.
Lemoire, S. J., & Chen, C. P. (2005). Applying person centered counseling to sexual minority addolescents. Journal of counseling and development, 83, 2, Pre Quest page 146.
Mezzich, J. E. Zincheko, Y. P., at al. (2013). Person-centered approaches in medicine: clinical tasks, psychological paradigms, and the postnonclassical perspective. Psychology in Rusia: state of the art vol. 6, Issue 1.
Sa’ad, Fauziah M., Yuseeff, Fatimah, at al. (2014). The effectiveness of person-centered therapy and cognitive psychology ad-din group counseling on self-concept, depression and resilience of pregnant out of-wedlock teenegers, social and behavioral sciences. Procedia-social and behavioral sciences, 114, 927-932.
Soetjipto, S. M. &Soetjipto, H. P.  (Eds). (2011). Teoridanpraktikkonselingdanterapi.Yogyakarta: PustakaPelajar.










Read more…

Postmodern Approach

Postmodern Approach
Oleh
Neng Triyaningsih Suryaman (1726149026) , Rahayu Prihantari (1726149019),
& Reni Oktora Tarigan (1726149023)
Kelas Non reguler
S2 Bimbingan Konseling FIP
Universitas Negeri Jakarta
 


PENDAHULUAN
Postmodern adalah pendekatan atau terapi yang bertujuan untuk menciptakan sebuah konteks di mana konseli dapat menciptakan cerita baru yang menyoroti wujud kebiasaan mereka (Corey, 2009). Corey juga menjelaskan bahwa pada pendekatan ini konselor menyediakan kesempatan bagi konseli untuk mendekonstruksi cerita dominan yang mereka bawa pada saat konseling. Konseli didorong untuk menuliskan kembali cerita tersebut dengan melihat masa lalu mereka dan menuliskan kembali masa depan mereka (Corey, 2009).
Konselor postmodern melihat konseli sebagai seorang ahli pada kehidupannya sendiri. Konselor bukan sebagai ahli tetapi mengambil peran pada rasa ingin tahu, ketertarikan, dan kepedulian konseli dalam hubungan konseling. Konselor dan konseli bersama-sama menetapkan secara jelas, spesifik, realistis, dan tujuan penuh arti secara individu yang akan memandu proses konseling (Corey, 2009).
Pendekatan konselor dengan membantu konseli menuliskan cerita masa depannya, menunjukkan bahwa pendekatan ini lebih banyak fokus pada masa depan konseli. Berbeda dengan pendekatan tradisional yang banyak menganalisa dari masa lalu konseli.
Berdasarkan hal tersebut, kami berpendapat bahwa pendekatan ini baik digunakan pada konseling karir dalam membantu konseli menentukan pilihan karir masa depan. Hal tersebut didukung oleh Patton (2005) yang menunjukkan bahwa pendekatan postmodern, yaitu pendekatan pembelajaran konstruktivistik memberikan kesempatan bagi konseli untuk mengeksplorasi diri mereka, dan menggunakan narasi karir subjektif untuk membuat hubungan antara masa lalu dan sekarang, dan membuat rencana masa depan konseli. Ia menunjukkan bahwa dengan menggunakan pendekatan postmodern (pendekatan konstruktivis), sehubungan dengan pendidikan karir dapat mengkonsep kembali dengan tujuan untuk memberikan dukungan seumur hidup pada individu dalam mengelola pembelajaran dan berkarir. Dengan begitu, makalah ini membahas mengenai pendekatan postmodern yang digunakan dalam konseling karir.

ANALISIS
Menurut Corey (2005), kita telah memasuki dunia postmodern di mana kebenaran dan realitas sering dipahami sebagai sudut pandang yang dibatasi oleh konteks sejarah dan bukan sebagai objek, fakta-fakta kekal. Ia menerangkan bahwa modernis lebih percaya pada realitas independen dari setiap percobaan untuk mengamatinya. Orang mencari konselor untuk mengatasi masalah mereka yang telah menyimpang terlalu jauh dari beberapa norma objektif. Sebaliknya, postmodernis percaya pada realitas subjektif yang tidak ada proses observasi independen.
Paham postmodern yang merupakan perspektif terapeutik dalam pandangan postmodern, yang menekankan realitas konseli apakah akurat atau rasional, adalah konstruksional sosial. Postmodernisme berpendapat bahwa realitas dibangun oleh pengamat (konstruktivisme), atau kelompok (konstruksionisme sosial) (D’Andrea dalam Hansen, J. T, 2002). Corey (2005) mengatakan bahwa konstruksional sosial realitas didasarkan pada penggunaan bahasa dan sebagian besar fungsi dan situasi di mana orang hidup dibangun secara sosial.
Pada pemikirannya, postmodern menggunakan bahasa ke dalam cerita untuk menceritakan kisah, dan masing-masing kisah-kisah ini benar bagi orang yang mengatakannya. Setiap orang yang terlibat dalam suatu situasi memiliki perspektif tentang realitas (Corey, 2005).
Kenneth Gergen (dalam Corey, 2005) mulai menekankan cara-cara di mana orang-orang membuat makna dalam hubungan sosial. Selain itu, Berger dan Luckman (dalam Corey, 2005) juga dikenal sebagai orang pertama yang menggunakan istilah konstruksionisme sosial, dan itu menandakan pergeseran penekanan dalam sistem keluarga individu dan psikoterapi.
Berkaitan dengan paham pendekatan postmodern, yaitu konstruksionisme sosial,  terdapat dalam teori konseling karir yang dikenal sebagai teori Savickas, dan disebut sebagai konseling karir konstruksi untuk merancang kehidupan. Pandangan teori ini adalah bahwa karir individu berpotensi sebagai bagian sentral dari hidupnya, dan menekankan pada identifikasi cara di mana individu tersebut ingin masuk ke dalam karir hidupnya. Fokusnya adalah pada pilihan karir, adaptasi, dan pengembangan sebagai proses yang terintegrasi. Empat konsep inti yang ditekankan adalah struktur hidup, kepribadian karir, kemampuan beradaptasi karir dan tema kehidupan (Savickas dalam Maree, J. G, 2010).
Savickas juga menjelaskan bahwa teori karir konstruksi menggunakan paradigma naratif untuk mengubah empat dimensi teoritis tersebut dalam prakteknya, dan terdiri dari strategi konseling karir konstruktivis, serta metode yang mendorong konseli untuk kembali menulis hidup dan cerita karir mereka (Savickas dalam Maree, J. G, 2010). Dengan menggunakan paradigma narasi tersebut, maka teori tersebut menggunakan teknik narasi dapat diterapkan untuk mengubah struktur hidup, kepribadian karir, dan kemampuan beradaptasi pada karir konseli, serta tema kehidupannya. 
Tujuan umum dari konseling karir naratif pada pendekatan postmodern itu sendiri adalah untuk membantu konseli membuat cerita kisah hidup mereka sendiri dan menjadikan sebuah pendekatan yang cocok untuk membantu konseli mengeksplorasi makna pribadi dan menemukan tujuannya (Maree, J. G, 2010). Dengan begitu, pendekatan ini baik digunakan pada konseling karir dengan menggunakan narasi. Narasi itu sendiri merupakan salah satu teknik dalam pendekatan postmodern yang terkenal, yaitu Narrative Therapy.       
            Pada teknik narasi, peran cerita membentuk realitas dalam membangun dan membentuk apa yang dilihat, rasakan, dan lakukan. Cerita tumbuh dari percakapan dalam konteks sosial dan budaya. Tetapi konseli tidak berperan sebagai korban patologis yang tidak memiliki harapan dan menyedihkan, melainkan muncul sebagai pemenang yang berani menceritakan cerita hidup yang dimiliki. Cerita tidak hanya mengubah individu yang bercerita, tetapi juga mengubah konselor yang istimewa menjadi bagian pada saat proses berlangsung (Monk dalam Corey, 2005).
Teknik narasi yang dibangun menurut Corey (2009) adalah seputar asumsi yang hanya digambarkan meliputi eksternalisasi, pemetaan dampak, dekonstruksi, kerjasama menuliskan cerita alternatif, beberapa jenis pertanyaan, dan membangun penonton sebagai saksi pada munculnya cerita yang disukai.
Pendekatan postmodern baik digunakan pada konseling karir dalam membantu konseli menentukan pilihan karir masa depan. Seperti yang  dinyatakan oleh Norman C. Gysbers, Mary J. Heppner, dan Joseph A. Johnston (2009), dari hasil penelitian mereka menggunakan pendekatan ini dan teknik narasi dalam konseling karir dapat membantu konselor dalam mengumpulkan informasi, pemahaman, dan hipotesa dari perilaku konseli, serta membantu konseli mengembangkan dan melaksanakan perencanaan yang akan dilakukan di masa depan dalam menentukan pilihan karirnya. Mereka memahami dan menafsirkan kumpulan informasi dan perilaku konseli yang diamati selama konseling karir dengan menggunakan konsep-konsep dari konsep tradisional dan baru dan munculnya konseptualisasi postmodern pada perkembangan karir. Mereka menggunakaan teori postmodern konstruktivisme dan konstruksionisme sosial yang berfokus pada narasi untuk mengidentifikasi tema karir hidup yang digunakan oleh konseli untuk mengatur pikiran, perasaan, dan ide-idenya.
Begitu juga dengan Patton (2005) yang dalam penelitiannya menggunakan pendekatan postmodern (pendekatan konstruktivis) menggunakan teknik narasi, sehubungan dengan pendidikan karir dapat membantu konseli mengkonsep kembali dengan tujuan untuk memberikan dukungan seumur hidup, serta mengelola pembelajaran dan berkarir. Dengan begitu, pendekatan ini membantu konseli menuliskan cerita masa depannya, sehingga pendekatan ini lebih banyak fokus pada masa depan konseli.
Pendekatan postmodern menggunakan teknik narasi pada konseling karir, secara efektif dapat membantu konseli dalam permasalahan terkait dengan karir. Seperti Pamelia E. Brott (2001) yang meneliti tentang seorang konseli yang memiliki permasalahan karir dan menginginkan bantuan konselor pada konseling karir. Terlihat jelas dalam cerita tersebut bahwa konselor menggunakan teknik narasi dengan pendekatan postmodern dalam konseling karirnya, yaitu melihat kisah hidup masa lalu konseli hingga saat ini, dan kemudian fokus kepada masa depan konseli yang diinginkannya.
Pada pendekatan postmodern sendiri, konselor melakukan eksplorasi bersama konseli pada dampak permasalahan terhadap dirinya dan bagaimana mereka mengambil tindakan untuk mengurangi dampak tersebut. Melalui penggunaan pertanyaan yang menantang konseli untuk memisahkan diri dari masalah identitas, konselor membantu konseli dalam menuliskan kembali cerita mereka dan membangun alur cerita yang lebih menarik. Sangat penting bahwa cerita yang ditulis dalam konteks konseling diangkat dalam dunia sosial di mana konseli tinggal (Corey, 2009).
Pendekatan ini bersifat kolaboratif dalam konseling, sehingga konseli merupakan agen utama dalam memutuskan kapan mereka telah mencapai tujuan dan kapan mereka siap untuk mengakhiri hubungan konseling, yaitu dengan format waktu yang efektif dan berakhir ketika konseli menemukan solusi yang efektif (Corey, 2009).
           

PENUTUP
            Pendekatan postmodern merupakan pendekatan yang dilakukan pada saat konseling dengan menggunakan bahasa ke dalam cerita untuk menceritakan kisah konseli. Kisah-kisah tersebut diyakini benar atas apa yang konseli katakan, di mana konseli terlibat dalam suatu situasi yang memiliki perspektif tentang realitas. Konstruksional sosial merupakan paham postmodern yang merupakan perspektif terapetik dalam pandangan postmodern, yang menekankan realitas konseli apakah akurat atau rasional.
            Salah satu pendekatan postmodern yang terkenal adalah narrative therapy. Teknik ini efektif digunakan dalam konseling karir, dengan melihat kisah hidup masa lalu konseli hingga saat ini, dan kemudian fokus kepada masa depan yang diinginkan konseli. Proses konseling tersebut meliputi eksternalisasi, pemetaan dampak, dekonstruksi, kerjasama menuliskan cerita alternatif, beberapa jenis pertanyaan, dan membangun penonton sebagai saksi pada munculnya cerita yang disukai.




















Lampiran: Contoh Penanganan Kasus Menggunakan Teknik Narasi

Agar lebih jelas mengenai proses konseling karir dengan pendekatan postmodern menggunakan teknik narasi, dapat diperhatikan pada contoh kasus konseli yang ditulis oleh Pamelia E. Brott (2001) berikut:
“Raynelle sudah bercerai, ia seorang ibu Hispanik 48 tahun dari tiga anak perempuan (rentang usia, 18-27 tahun). Dia saat ini bekerja sebagai asisten perawat di fasilitas perawatan perumahan (yaitu, panti jompo). Putri tengah Raynelle, yang telah tinggal bersamanya dan berbagi biaya selama 5 tahun terakhir, memiliki rencana untuk pindah ke kota lain untuk mengambil pekerjaan dengan penghasilan lebih baik di industri komputer. Situasi ekonomi Raynelle akan menjadi kritis (yaitu, dia tidak akan mampu memenuhi tagihan bulanan) tanpa seseorang untuk berbagi beban. Raynelle telah datang untuk konseling karir "untuk mencari apa yang saya akan lakukan untuk memenuhi kebutuhan .... saya perlu pekerjaan dengan gaji yang lebih baik, dan saya ingin Anda untuk membantu saya menemukan satu."
Setelah menyaring singkat dan mengambil kumpulan informasi, konselor memperkenalkan jalur kehidupan sebagai "suatu kegiatan yang bisa kita lakukan sehingga saya bisa mengenal lebih banyak tentang kisah hidup Anda, yang dapat membantu kita melihat kisah hidup masa depan Anda dengan pekerjaan yang berpenghasilan baik."Sebagai kertas koran ditempatkan di depan klien, konselor melanjutkan, "Garis hidup yang dapat membantu Anda untuk memberitahu bab masa lalu dan sekarang dalam cerita Anda, persepsi Anda tentang kehidupan Anda saat ini, dan diri Anda dalam varietas peran kehidupan."
Wajah Raynelle berseri-seri dengan senyum lebar ketika konselor membuka kontainer yang berisi pensil warna. "Apa warna yang harus saya gunakan?",pertanyaan pertama Raynelle`s. "Setiap warna yang cocok untuk anda", respons konselor. "Di mana saya harus mulai? ",pertanyaan Raynelle berikutnya. Konselor menyarankan bahwa garis horizontal ditarik melalui tengah kertas dan meminta Raynelle untuk menandai" X "di sisi kiri dengan tanggal lahir dan kemudian menandai dan" X "di sisi kanan dengan tanggal saat ini. Raynelle memilih pensil ungu, "warna favorit saya", katanya, dan menarik garis di kertas, menandai "X" dengan tanggal kelahirannya, dan "X" dengan tanggal saat ini. Konselor kemudian meminta Raynelle mempertimbangkan berapa banyak dari garis hidupnya yang akan mewakili sewaktu dia telah menghabiskan waktu sejak lahir sampai lulus dari SMA. Raynelle meneliti kertas dan akhirnya menarik garis vertikal di garis horisontal kira-kira seperempat dari jarak dari tanggal lahir "X" untuk saat ini "X" dan menulis tahun kelulusan nya. Konselor meminta. "Raynelle, ceritakan bagaimana Anda memutuskan di mana harus menempatkan garis itu." Raynelle menjawab, "Yah, tampaknya hampir menjadi 50 tahun, sekitar seperempat dari hidup saya dihabiskan di sekolah."
Konselor memilih untuk memulai proses co-konstruksi dengan tahun-tahun yang dihabiskan di sekolah dengan mengajukan pertanyaan Raynelle tentang apa yang dia ingat pada berbagai tingkat kelas (yaitu, SD, SMP, SMA) dan menulis notasi pada kertas koran tentang kenangan ini. Raynelle mendesah panjang, lalu mengambil pensil ungu, menarik bintang di atas tanggal kelulusan, dan mulai berbicara tentang betapa bangganya dia ketika ia menerima ijazah SMA-nya. Setelah ia mulai kisahnya tentang kelulusan, dia dengan mudah pindah bolak-balik melintasi garis hidup, mencatat beberapa peristiwa: gagal dalam tes sejarah di SMA; Ibu Hansen, "Siapa guru terbaik Anda?"; Kelvin, pacar pertamanya; dan diejek oleh teman-teman sekelasnya di kelas tiga karena dia tidak bisa menjawab pertanyaan guru di kelas. Raynelle merubah warna pensil ketika dia membuat notasi dan menjelaskan kepada konselor, "Saya pikir warna terlihat seperti apa yang saya ingat." Warna-warna termasuk warna favorit Raynelle, ungu, serta orange, hitam, coklat, merah, dan hijau. Seperti Raynelle menceritakan kisahnya, konselor bertanya tentang orang-orang yang ingat dan meminta konseli untuk menulis nama di kertas koran. Sebagai dialog dikembangkan, konselor dan konseli setuju pada kata-kata "titik tinggi" untuk menunjukkan momen berkilau dan "titik rendah" untuk menunjukkan momen. Ketika Raynelle tidak mengambil pensil warna lain, konselor menyarankan, "Kami telah melihat bab dari kisah hidup Anda yang menyebabkan Anda lulus dari sekolah tinggi… Judul apa yang akan Anda berikan untuk bab ini dari garis hidup Anda?" alis Raynelle itu menjadi berkerut, dan konselor tetap diam. Setelah jeda yang panjang, Raynelle mengatakan "Wah, saya tidak tahu judul yang baik ... tapi melihat tulisan ini tampak seperti me, my self, dan I ... tidakkah bahwa apa yang mereka ajarkan di kelas bahasa Inggris" Konselor bertanya. "Mengapa Anda memilih 'me, my self, dan I'?" "Yah, aku terutama berbicara tentang apa yang saya lakukan .... Saya tidak tahu .... Ini satu-satunya hal jawaban yangbisa msaya pikirkan," jawaban Raunelle. Konselor melanjutkan, "Mengapa Anda tidak menulis bahwa judul di atas bagian dari garis hidup yang mengarah ke kelulusan Anda, dan jika Anda ingin mengubahnya nanti, itu ok." Raynelle mengambil pensil ungu dan menulis "Me, Myself, dan I " sepanjang notasi garis hidup yang dia selesaikan.
Proses co-konstruksi dilanjutkan dengan garis hidup Raynelle dengan menjumlahkan babdari dia lulus hingga saat ini. Bersama konselor dan klien mendiskusikan poin tingginya, titik rendah, dan cerita orang; dan Raynelle memberi judul bagian dari garis hidup "Raynelle’s Highs dan Lows." Konselor dipindai di garis hidup, dia mulai bertanya-tanya tentang tema konseli dan meminta konseli apakah dia melihat setiap tema dalam garis hidupnya. Raynelle mengidentifikasi kesempatan yang hilang, melakukan apa yang benar, dan keluarga pertama; ini dibahas (misalnya, pertanyaan apa, mengapa, bagaimana), dan kemudian mencatat masing-masing di bawah kertas koran.
Selembar kertas koran ditempatkan di atas meja, dan konselor memperkenalkan konsep peran kehidupan dengan memberikan deskripsi masing-masing: keluarga, mahasiswa, pekerja, rekreasi, dan masyarakat. Raynelle diminta untuk memberikan contoh dari setiap peran dari garis hidup, dan contoh-contoh ini dicatat pada satu setengah dari kertas koran yang kedua. Konselor meminta konseli untuk menggambar lingkaran pada paruh kedua kertas koransejumlah waktu yang ia sedang habiskan di setiap peran hidup. Lingkaran terbesarnya pekerja; lingkaran kira-kira setengah ukuran peran pekerja tertarik untuk mewakili peran keluarga; dan dua lingkaran sekitar setengah ukuran peran keluarga diidentifikasi sebagai peran masyarakat, dan rekreasi, dengan komentar, "Saya melihat keterlibatan saya dengan gereja baik sebagai rekreasi dan masyarakat." Tidak ada lingkaran ditarik untuk peran mahasiswa, sehingga konselor bertanya, "Tidak ada peran mahasiswa untuk Anda?" Raynelle menjawab, "Astaga, tidak. Saya bukan mahasiswa lagi .... Saya harus bekerja. "Konselor kemudian meminta Raynelle untuk mengidentifikasi tema yang dilihatnya dalam peran hidupnya. Ini termasuk membuat memenuhi kebutuhan dalam peran pekerjanya, memenuhi kebutuhan keluarga dalam peran keluarganya, dan berpartisipasi secara aktif di dalam gereja untuk peran masyarakat dan rekreasi. Tema tercatat di bagian bawah kertas koran.
Pada akhir sesi, konselor meminta konselinya, "Melihat kisah hidup Anda, sejauh mana Anda bergerak ke arah yang diinginkan?" Raynelle bingung dan menjawab, "Apa yang Anda maksud? Wah, ternyata saya sudah melakukan apa yang harus saya lakukan untuk apa yang saya dapatkan."Konselor terikat komentar ini kembali ke masalah asli yang diajukan Raynelle: "Ketika Anda datang hari ini, kau bilang kau ingin mencari apa yang Anda akan lakukan untuk memenuhi kebutuhan.” “Kami telah mengambil dan melihat kisah hidup Anda sejauh ini, dan sedang mulai bertanya-tanya apakah Anda akan tertarik dalam membangun bab masa depan untuk kisah hidup Anda."Senyum cerah datang di wajah Raynelle, dan dia menyatakan, "Ya, saya ingin melakukan itu." Konselor bertanya, "Apa yang Anda maksud dengan 'itu'?” Raynelle cepat menjawab, "Seperti kau bilang, bergerak ke arah yang saya sukai."
Dalam sesi mendatang, konselor menggunakan identifikasi tema untuk memulai proses dekonstruksi dengan konseli. Sebagai contoh, salah satu peluang Raynelle terjawab tidak menjadi perawat yang ia telah rencanakan untuk lakukan, karena dia hamil ketika ia lulus dari sekolah tinggi. Ia memilih untuk tidak melanjutkan pelatihannya di perguruan tinggi. Raynelle mulai membangun masa depannya,bab kisah hidup sebagai arah yang diinginkan nya. Dia "dihuni" bab masa depannya, "Apa Ibu Hansen Akan Pikirkan Tentang Aku Akhirnya Menjadi Perawat."
Berbagai teknik penilaian tambahan digunakan bersama Raynelle. Semacam kartu, berdasarkan nilai-nilai Raynelle itu, dibuat oleh konselor pada kartu indeks, dan Raynelle diminta untuk berbicara melalui nilai-nilai dari 10 daftar teratas, dia di urutan peringkat,Myers-Briggs Type Indicator (Myers & Myers, 1993 dalam Brott, P. E., 2001) diberikan untuk mengidentifikasi tipe kepribadian Raynelle dan pengaruhnya terhadap peran hidupnya, dan Self-Directed Search (Holland, 1974dalam Brott, P. E., 2001) diberikan untuk memperluas judul kerja Raynelle yang berhubungan dengan perawat.
Sebelum mengakhiri layanan konseling dengan Raynelle, konselor memperkenalkan peta gol. Raynelle dan konselor bersama-sama memandang rencana (yaitu, pekerjaan dengan penghasilan lebih baik), hambatan (misalnya, pertumbuhan anak, biaya pelatihan), dan jembatan (misalnya, panti jompo sponsor untuk pelatihan, mengambil asrama), saat ia mulai membangun bab masa depan untuk kisah hidupnya. Melalui pendekatan bertingkat, Raynelle mampu meninjau kisah hidupnya dari masa lalunya, sampai sekarang, dan ke masa depan dalam arah yang diinginkannya.
























DAFTAR PUSTAKA
Brott, P. E. (2001). The storied approach: a postmodern perspective for career counseling. The Career Development Quarterly; Jun 2001, 49,  4, ProQuest pg. 304.
Corey, Gerald. (2009). Case approach to counseling and psychotherapy.(8thed). United States of America: Thomson Brooks/Cole.
Corey, Gerald. (2005). Theory and practice of counseling and psychotherapy.(8thed). United States of America: Brooks/Cole.
Gysbers, N. C., Heppner, M. J., & Johnston, J. A. (2009). Career counseling: contexts, processes, and techniques. (3rded). Alexandria: American Counseling Association.
Hansen, J. T. (2002). Postmodern implications for theoretical integration of counseling approaches. Journal of counseling and development, Summer 2002, Vol.80.
Maree, J. G. (2010). Brief overview of the advancement of postmodern approaches to career counseling. Jornal of Psycology in Afrika 2010, 20 (3), 361-368.
Patton, Wendy. (2005). A postmodern approach to career education: what does it look like?. Perspecktive in Education 23(1): pp.21-28.


Read more…