Senin, 23 Februari 2015

Postmodern Approach

Postmodern Approach
Oleh
Neng Triyaningsih Suryaman (1726149026) , Rahayu Prihantari (1726149019),
& Reni Oktora Tarigan (1726149023)
Kelas Non reguler
S2 Bimbingan Konseling FIP
Universitas Negeri Jakarta
 


PENDAHULUAN
Postmodern adalah pendekatan atau terapi yang bertujuan untuk menciptakan sebuah konteks di mana konseli dapat menciptakan cerita baru yang menyoroti wujud kebiasaan mereka (Corey, 2009). Corey juga menjelaskan bahwa pada pendekatan ini konselor menyediakan kesempatan bagi konseli untuk mendekonstruksi cerita dominan yang mereka bawa pada saat konseling. Konseli didorong untuk menuliskan kembali cerita tersebut dengan melihat masa lalu mereka dan menuliskan kembali masa depan mereka (Corey, 2009).
Konselor postmodern melihat konseli sebagai seorang ahli pada kehidupannya sendiri. Konselor bukan sebagai ahli tetapi mengambil peran pada rasa ingin tahu, ketertarikan, dan kepedulian konseli dalam hubungan konseling. Konselor dan konseli bersama-sama menetapkan secara jelas, spesifik, realistis, dan tujuan penuh arti secara individu yang akan memandu proses konseling (Corey, 2009).
Pendekatan konselor dengan membantu konseli menuliskan cerita masa depannya, menunjukkan bahwa pendekatan ini lebih banyak fokus pada masa depan konseli. Berbeda dengan pendekatan tradisional yang banyak menganalisa dari masa lalu konseli.
Berdasarkan hal tersebut, kami berpendapat bahwa pendekatan ini baik digunakan pada konseling karir dalam membantu konseli menentukan pilihan karir masa depan. Hal tersebut didukung oleh Patton (2005) yang menunjukkan bahwa pendekatan postmodern, yaitu pendekatan pembelajaran konstruktivistik memberikan kesempatan bagi konseli untuk mengeksplorasi diri mereka, dan menggunakan narasi karir subjektif untuk membuat hubungan antara masa lalu dan sekarang, dan membuat rencana masa depan konseli. Ia menunjukkan bahwa dengan menggunakan pendekatan postmodern (pendekatan konstruktivis), sehubungan dengan pendidikan karir dapat mengkonsep kembali dengan tujuan untuk memberikan dukungan seumur hidup pada individu dalam mengelola pembelajaran dan berkarir. Dengan begitu, makalah ini membahas mengenai pendekatan postmodern yang digunakan dalam konseling karir.

ANALISIS
Menurut Corey (2005), kita telah memasuki dunia postmodern di mana kebenaran dan realitas sering dipahami sebagai sudut pandang yang dibatasi oleh konteks sejarah dan bukan sebagai objek, fakta-fakta kekal. Ia menerangkan bahwa modernis lebih percaya pada realitas independen dari setiap percobaan untuk mengamatinya. Orang mencari konselor untuk mengatasi masalah mereka yang telah menyimpang terlalu jauh dari beberapa norma objektif. Sebaliknya, postmodernis percaya pada realitas subjektif yang tidak ada proses observasi independen.
Paham postmodern yang merupakan perspektif terapeutik dalam pandangan postmodern, yang menekankan realitas konseli apakah akurat atau rasional, adalah konstruksional sosial. Postmodernisme berpendapat bahwa realitas dibangun oleh pengamat (konstruktivisme), atau kelompok (konstruksionisme sosial) (D’Andrea dalam Hansen, J. T, 2002). Corey (2005) mengatakan bahwa konstruksional sosial realitas didasarkan pada penggunaan bahasa dan sebagian besar fungsi dan situasi di mana orang hidup dibangun secara sosial.
Pada pemikirannya, postmodern menggunakan bahasa ke dalam cerita untuk menceritakan kisah, dan masing-masing kisah-kisah ini benar bagi orang yang mengatakannya. Setiap orang yang terlibat dalam suatu situasi memiliki perspektif tentang realitas (Corey, 2005).
Kenneth Gergen (dalam Corey, 2005) mulai menekankan cara-cara di mana orang-orang membuat makna dalam hubungan sosial. Selain itu, Berger dan Luckman (dalam Corey, 2005) juga dikenal sebagai orang pertama yang menggunakan istilah konstruksionisme sosial, dan itu menandakan pergeseran penekanan dalam sistem keluarga individu dan psikoterapi.
Berkaitan dengan paham pendekatan postmodern, yaitu konstruksionisme sosial,  terdapat dalam teori konseling karir yang dikenal sebagai teori Savickas, dan disebut sebagai konseling karir konstruksi untuk merancang kehidupan. Pandangan teori ini adalah bahwa karir individu berpotensi sebagai bagian sentral dari hidupnya, dan menekankan pada identifikasi cara di mana individu tersebut ingin masuk ke dalam karir hidupnya. Fokusnya adalah pada pilihan karir, adaptasi, dan pengembangan sebagai proses yang terintegrasi. Empat konsep inti yang ditekankan adalah struktur hidup, kepribadian karir, kemampuan beradaptasi karir dan tema kehidupan (Savickas dalam Maree, J. G, 2010).
Savickas juga menjelaskan bahwa teori karir konstruksi menggunakan paradigma naratif untuk mengubah empat dimensi teoritis tersebut dalam prakteknya, dan terdiri dari strategi konseling karir konstruktivis, serta metode yang mendorong konseli untuk kembali menulis hidup dan cerita karir mereka (Savickas dalam Maree, J. G, 2010). Dengan menggunakan paradigma narasi tersebut, maka teori tersebut menggunakan teknik narasi dapat diterapkan untuk mengubah struktur hidup, kepribadian karir, dan kemampuan beradaptasi pada karir konseli, serta tema kehidupannya. 
Tujuan umum dari konseling karir naratif pada pendekatan postmodern itu sendiri adalah untuk membantu konseli membuat cerita kisah hidup mereka sendiri dan menjadikan sebuah pendekatan yang cocok untuk membantu konseli mengeksplorasi makna pribadi dan menemukan tujuannya (Maree, J. G, 2010). Dengan begitu, pendekatan ini baik digunakan pada konseling karir dengan menggunakan narasi. Narasi itu sendiri merupakan salah satu teknik dalam pendekatan postmodern yang terkenal, yaitu Narrative Therapy.       
            Pada teknik narasi, peran cerita membentuk realitas dalam membangun dan membentuk apa yang dilihat, rasakan, dan lakukan. Cerita tumbuh dari percakapan dalam konteks sosial dan budaya. Tetapi konseli tidak berperan sebagai korban patologis yang tidak memiliki harapan dan menyedihkan, melainkan muncul sebagai pemenang yang berani menceritakan cerita hidup yang dimiliki. Cerita tidak hanya mengubah individu yang bercerita, tetapi juga mengubah konselor yang istimewa menjadi bagian pada saat proses berlangsung (Monk dalam Corey, 2005).
Teknik narasi yang dibangun menurut Corey (2009) adalah seputar asumsi yang hanya digambarkan meliputi eksternalisasi, pemetaan dampak, dekonstruksi, kerjasama menuliskan cerita alternatif, beberapa jenis pertanyaan, dan membangun penonton sebagai saksi pada munculnya cerita yang disukai.
Pendekatan postmodern baik digunakan pada konseling karir dalam membantu konseli menentukan pilihan karir masa depan. Seperti yang  dinyatakan oleh Norman C. Gysbers, Mary J. Heppner, dan Joseph A. Johnston (2009), dari hasil penelitian mereka menggunakan pendekatan ini dan teknik narasi dalam konseling karir dapat membantu konselor dalam mengumpulkan informasi, pemahaman, dan hipotesa dari perilaku konseli, serta membantu konseli mengembangkan dan melaksanakan perencanaan yang akan dilakukan di masa depan dalam menentukan pilihan karirnya. Mereka memahami dan menafsirkan kumpulan informasi dan perilaku konseli yang diamati selama konseling karir dengan menggunakan konsep-konsep dari konsep tradisional dan baru dan munculnya konseptualisasi postmodern pada perkembangan karir. Mereka menggunakaan teori postmodern konstruktivisme dan konstruksionisme sosial yang berfokus pada narasi untuk mengidentifikasi tema karir hidup yang digunakan oleh konseli untuk mengatur pikiran, perasaan, dan ide-idenya.
Begitu juga dengan Patton (2005) yang dalam penelitiannya menggunakan pendekatan postmodern (pendekatan konstruktivis) menggunakan teknik narasi, sehubungan dengan pendidikan karir dapat membantu konseli mengkonsep kembali dengan tujuan untuk memberikan dukungan seumur hidup, serta mengelola pembelajaran dan berkarir. Dengan begitu, pendekatan ini membantu konseli menuliskan cerita masa depannya, sehingga pendekatan ini lebih banyak fokus pada masa depan konseli.
Pendekatan postmodern menggunakan teknik narasi pada konseling karir, secara efektif dapat membantu konseli dalam permasalahan terkait dengan karir. Seperti Pamelia E. Brott (2001) yang meneliti tentang seorang konseli yang memiliki permasalahan karir dan menginginkan bantuan konselor pada konseling karir. Terlihat jelas dalam cerita tersebut bahwa konselor menggunakan teknik narasi dengan pendekatan postmodern dalam konseling karirnya, yaitu melihat kisah hidup masa lalu konseli hingga saat ini, dan kemudian fokus kepada masa depan konseli yang diinginkannya.
Pada pendekatan postmodern sendiri, konselor melakukan eksplorasi bersama konseli pada dampak permasalahan terhadap dirinya dan bagaimana mereka mengambil tindakan untuk mengurangi dampak tersebut. Melalui penggunaan pertanyaan yang menantang konseli untuk memisahkan diri dari masalah identitas, konselor membantu konseli dalam menuliskan kembali cerita mereka dan membangun alur cerita yang lebih menarik. Sangat penting bahwa cerita yang ditulis dalam konteks konseling diangkat dalam dunia sosial di mana konseli tinggal (Corey, 2009).
Pendekatan ini bersifat kolaboratif dalam konseling, sehingga konseli merupakan agen utama dalam memutuskan kapan mereka telah mencapai tujuan dan kapan mereka siap untuk mengakhiri hubungan konseling, yaitu dengan format waktu yang efektif dan berakhir ketika konseli menemukan solusi yang efektif (Corey, 2009).
           

PENUTUP
            Pendekatan postmodern merupakan pendekatan yang dilakukan pada saat konseling dengan menggunakan bahasa ke dalam cerita untuk menceritakan kisah konseli. Kisah-kisah tersebut diyakini benar atas apa yang konseli katakan, di mana konseli terlibat dalam suatu situasi yang memiliki perspektif tentang realitas. Konstruksional sosial merupakan paham postmodern yang merupakan perspektif terapetik dalam pandangan postmodern, yang menekankan realitas konseli apakah akurat atau rasional.
            Salah satu pendekatan postmodern yang terkenal adalah narrative therapy. Teknik ini efektif digunakan dalam konseling karir, dengan melihat kisah hidup masa lalu konseli hingga saat ini, dan kemudian fokus kepada masa depan yang diinginkan konseli. Proses konseling tersebut meliputi eksternalisasi, pemetaan dampak, dekonstruksi, kerjasama menuliskan cerita alternatif, beberapa jenis pertanyaan, dan membangun penonton sebagai saksi pada munculnya cerita yang disukai.




















Lampiran: Contoh Penanganan Kasus Menggunakan Teknik Narasi

Agar lebih jelas mengenai proses konseling karir dengan pendekatan postmodern menggunakan teknik narasi, dapat diperhatikan pada contoh kasus konseli yang ditulis oleh Pamelia E. Brott (2001) berikut:
“Raynelle sudah bercerai, ia seorang ibu Hispanik 48 tahun dari tiga anak perempuan (rentang usia, 18-27 tahun). Dia saat ini bekerja sebagai asisten perawat di fasilitas perawatan perumahan (yaitu, panti jompo). Putri tengah Raynelle, yang telah tinggal bersamanya dan berbagi biaya selama 5 tahun terakhir, memiliki rencana untuk pindah ke kota lain untuk mengambil pekerjaan dengan penghasilan lebih baik di industri komputer. Situasi ekonomi Raynelle akan menjadi kritis (yaitu, dia tidak akan mampu memenuhi tagihan bulanan) tanpa seseorang untuk berbagi beban. Raynelle telah datang untuk konseling karir "untuk mencari apa yang saya akan lakukan untuk memenuhi kebutuhan .... saya perlu pekerjaan dengan gaji yang lebih baik, dan saya ingin Anda untuk membantu saya menemukan satu."
Setelah menyaring singkat dan mengambil kumpulan informasi, konselor memperkenalkan jalur kehidupan sebagai "suatu kegiatan yang bisa kita lakukan sehingga saya bisa mengenal lebih banyak tentang kisah hidup Anda, yang dapat membantu kita melihat kisah hidup masa depan Anda dengan pekerjaan yang berpenghasilan baik."Sebagai kertas koran ditempatkan di depan klien, konselor melanjutkan, "Garis hidup yang dapat membantu Anda untuk memberitahu bab masa lalu dan sekarang dalam cerita Anda, persepsi Anda tentang kehidupan Anda saat ini, dan diri Anda dalam varietas peran kehidupan."
Wajah Raynelle berseri-seri dengan senyum lebar ketika konselor membuka kontainer yang berisi pensil warna. "Apa warna yang harus saya gunakan?",pertanyaan pertama Raynelle`s. "Setiap warna yang cocok untuk anda", respons konselor. "Di mana saya harus mulai? ",pertanyaan Raynelle berikutnya. Konselor menyarankan bahwa garis horizontal ditarik melalui tengah kertas dan meminta Raynelle untuk menandai" X "di sisi kiri dengan tanggal lahir dan kemudian menandai dan" X "di sisi kanan dengan tanggal saat ini. Raynelle memilih pensil ungu, "warna favorit saya", katanya, dan menarik garis di kertas, menandai "X" dengan tanggal kelahirannya, dan "X" dengan tanggal saat ini. Konselor kemudian meminta Raynelle mempertimbangkan berapa banyak dari garis hidupnya yang akan mewakili sewaktu dia telah menghabiskan waktu sejak lahir sampai lulus dari SMA. Raynelle meneliti kertas dan akhirnya menarik garis vertikal di garis horisontal kira-kira seperempat dari jarak dari tanggal lahir "X" untuk saat ini "X" dan menulis tahun kelulusan nya. Konselor meminta. "Raynelle, ceritakan bagaimana Anda memutuskan di mana harus menempatkan garis itu." Raynelle menjawab, "Yah, tampaknya hampir menjadi 50 tahun, sekitar seperempat dari hidup saya dihabiskan di sekolah."
Konselor memilih untuk memulai proses co-konstruksi dengan tahun-tahun yang dihabiskan di sekolah dengan mengajukan pertanyaan Raynelle tentang apa yang dia ingat pada berbagai tingkat kelas (yaitu, SD, SMP, SMA) dan menulis notasi pada kertas koran tentang kenangan ini. Raynelle mendesah panjang, lalu mengambil pensil ungu, menarik bintang di atas tanggal kelulusan, dan mulai berbicara tentang betapa bangganya dia ketika ia menerima ijazah SMA-nya. Setelah ia mulai kisahnya tentang kelulusan, dia dengan mudah pindah bolak-balik melintasi garis hidup, mencatat beberapa peristiwa: gagal dalam tes sejarah di SMA; Ibu Hansen, "Siapa guru terbaik Anda?"; Kelvin, pacar pertamanya; dan diejek oleh teman-teman sekelasnya di kelas tiga karena dia tidak bisa menjawab pertanyaan guru di kelas. Raynelle merubah warna pensil ketika dia membuat notasi dan menjelaskan kepada konselor, "Saya pikir warna terlihat seperti apa yang saya ingat." Warna-warna termasuk warna favorit Raynelle, ungu, serta orange, hitam, coklat, merah, dan hijau. Seperti Raynelle menceritakan kisahnya, konselor bertanya tentang orang-orang yang ingat dan meminta konseli untuk menulis nama di kertas koran. Sebagai dialog dikembangkan, konselor dan konseli setuju pada kata-kata "titik tinggi" untuk menunjukkan momen berkilau dan "titik rendah" untuk menunjukkan momen. Ketika Raynelle tidak mengambil pensil warna lain, konselor menyarankan, "Kami telah melihat bab dari kisah hidup Anda yang menyebabkan Anda lulus dari sekolah tinggi… Judul apa yang akan Anda berikan untuk bab ini dari garis hidup Anda?" alis Raynelle itu menjadi berkerut, dan konselor tetap diam. Setelah jeda yang panjang, Raynelle mengatakan "Wah, saya tidak tahu judul yang baik ... tapi melihat tulisan ini tampak seperti me, my self, dan I ... tidakkah bahwa apa yang mereka ajarkan di kelas bahasa Inggris" Konselor bertanya. "Mengapa Anda memilih 'me, my self, dan I'?" "Yah, aku terutama berbicara tentang apa yang saya lakukan .... Saya tidak tahu .... Ini satu-satunya hal jawaban yangbisa msaya pikirkan," jawaban Raunelle. Konselor melanjutkan, "Mengapa Anda tidak menulis bahwa judul di atas bagian dari garis hidup yang mengarah ke kelulusan Anda, dan jika Anda ingin mengubahnya nanti, itu ok." Raynelle mengambil pensil ungu dan menulis "Me, Myself, dan I " sepanjang notasi garis hidup yang dia selesaikan.
Proses co-konstruksi dilanjutkan dengan garis hidup Raynelle dengan menjumlahkan babdari dia lulus hingga saat ini. Bersama konselor dan klien mendiskusikan poin tingginya, titik rendah, dan cerita orang; dan Raynelle memberi judul bagian dari garis hidup "Raynelle’s Highs dan Lows." Konselor dipindai di garis hidup, dia mulai bertanya-tanya tentang tema konseli dan meminta konseli apakah dia melihat setiap tema dalam garis hidupnya. Raynelle mengidentifikasi kesempatan yang hilang, melakukan apa yang benar, dan keluarga pertama; ini dibahas (misalnya, pertanyaan apa, mengapa, bagaimana), dan kemudian mencatat masing-masing di bawah kertas koran.
Selembar kertas koran ditempatkan di atas meja, dan konselor memperkenalkan konsep peran kehidupan dengan memberikan deskripsi masing-masing: keluarga, mahasiswa, pekerja, rekreasi, dan masyarakat. Raynelle diminta untuk memberikan contoh dari setiap peran dari garis hidup, dan contoh-contoh ini dicatat pada satu setengah dari kertas koran yang kedua. Konselor meminta konseli untuk menggambar lingkaran pada paruh kedua kertas koransejumlah waktu yang ia sedang habiskan di setiap peran hidup. Lingkaran terbesarnya pekerja; lingkaran kira-kira setengah ukuran peran pekerja tertarik untuk mewakili peran keluarga; dan dua lingkaran sekitar setengah ukuran peran keluarga diidentifikasi sebagai peran masyarakat, dan rekreasi, dengan komentar, "Saya melihat keterlibatan saya dengan gereja baik sebagai rekreasi dan masyarakat." Tidak ada lingkaran ditarik untuk peran mahasiswa, sehingga konselor bertanya, "Tidak ada peran mahasiswa untuk Anda?" Raynelle menjawab, "Astaga, tidak. Saya bukan mahasiswa lagi .... Saya harus bekerja. "Konselor kemudian meminta Raynelle untuk mengidentifikasi tema yang dilihatnya dalam peran hidupnya. Ini termasuk membuat memenuhi kebutuhan dalam peran pekerjanya, memenuhi kebutuhan keluarga dalam peran keluarganya, dan berpartisipasi secara aktif di dalam gereja untuk peran masyarakat dan rekreasi. Tema tercatat di bagian bawah kertas koran.
Pada akhir sesi, konselor meminta konselinya, "Melihat kisah hidup Anda, sejauh mana Anda bergerak ke arah yang diinginkan?" Raynelle bingung dan menjawab, "Apa yang Anda maksud? Wah, ternyata saya sudah melakukan apa yang harus saya lakukan untuk apa yang saya dapatkan."Konselor terikat komentar ini kembali ke masalah asli yang diajukan Raynelle: "Ketika Anda datang hari ini, kau bilang kau ingin mencari apa yang Anda akan lakukan untuk memenuhi kebutuhan.” “Kami telah mengambil dan melihat kisah hidup Anda sejauh ini, dan sedang mulai bertanya-tanya apakah Anda akan tertarik dalam membangun bab masa depan untuk kisah hidup Anda."Senyum cerah datang di wajah Raynelle, dan dia menyatakan, "Ya, saya ingin melakukan itu." Konselor bertanya, "Apa yang Anda maksud dengan 'itu'?” Raynelle cepat menjawab, "Seperti kau bilang, bergerak ke arah yang saya sukai."
Dalam sesi mendatang, konselor menggunakan identifikasi tema untuk memulai proses dekonstruksi dengan konseli. Sebagai contoh, salah satu peluang Raynelle terjawab tidak menjadi perawat yang ia telah rencanakan untuk lakukan, karena dia hamil ketika ia lulus dari sekolah tinggi. Ia memilih untuk tidak melanjutkan pelatihannya di perguruan tinggi. Raynelle mulai membangun masa depannya,bab kisah hidup sebagai arah yang diinginkan nya. Dia "dihuni" bab masa depannya, "Apa Ibu Hansen Akan Pikirkan Tentang Aku Akhirnya Menjadi Perawat."
Berbagai teknik penilaian tambahan digunakan bersama Raynelle. Semacam kartu, berdasarkan nilai-nilai Raynelle itu, dibuat oleh konselor pada kartu indeks, dan Raynelle diminta untuk berbicara melalui nilai-nilai dari 10 daftar teratas, dia di urutan peringkat,Myers-Briggs Type Indicator (Myers & Myers, 1993 dalam Brott, P. E., 2001) diberikan untuk mengidentifikasi tipe kepribadian Raynelle dan pengaruhnya terhadap peran hidupnya, dan Self-Directed Search (Holland, 1974dalam Brott, P. E., 2001) diberikan untuk memperluas judul kerja Raynelle yang berhubungan dengan perawat.
Sebelum mengakhiri layanan konseling dengan Raynelle, konselor memperkenalkan peta gol. Raynelle dan konselor bersama-sama memandang rencana (yaitu, pekerjaan dengan penghasilan lebih baik), hambatan (misalnya, pertumbuhan anak, biaya pelatihan), dan jembatan (misalnya, panti jompo sponsor untuk pelatihan, mengambil asrama), saat ia mulai membangun bab masa depan untuk kisah hidupnya. Melalui pendekatan bertingkat, Raynelle mampu meninjau kisah hidupnya dari masa lalunya, sampai sekarang, dan ke masa depan dalam arah yang diinginkannya.
























DAFTAR PUSTAKA
Brott, P. E. (2001). The storied approach: a postmodern perspective for career counseling. The Career Development Quarterly; Jun 2001, 49,  4, ProQuest pg. 304.
Corey, Gerald. (2009). Case approach to counseling and psychotherapy.(8thed). United States of America: Thomson Brooks/Cole.
Corey, Gerald. (2005). Theory and practice of counseling and psychotherapy.(8thed). United States of America: Brooks/Cole.
Gysbers, N. C., Heppner, M. J., & Johnston, J. A. (2009). Career counseling: contexts, processes, and techniques. (3rded). Alexandria: American Counseling Association.
Hansen, J. T. (2002). Postmodern implications for theoretical integration of counseling approaches. Journal of counseling and development, Summer 2002, Vol.80.
Maree, J. G. (2010). Brief overview of the advancement of postmodern approaches to career counseling. Jornal of Psycology in Afrika 2010, 20 (3), 361-368.
Patton, Wendy. (2005). A postmodern approach to career education: what does it look like?. Perspecktive in Education 23(1): pp.21-28.


1 komentar:

  1. Wah,,,
    Mantab
    Dipost juga sama kaka...
    Karena kaka post ini, mungkin yang kebingungan mencari ttg pendekatan postmodern bisa terbantu yah ka dengan post kk di blog ini...

    Nice Blog kaaa..

    Happy blogging ~(^.~)

    BalasHapus