Oleh
Neng Triyaningsih
Suryaman (1726149026) , Rahayu Prihantari (1726149019),
& Reni Oktora
Tarigan (1726149023)
Kelas Non reguler
S2 Bimbingan
Konseling FIP
Universitas Negeri Jakarta
PENDAHULUAN
Pendekatan person-centered didasarkan
pada suatu konsep dari psikologi humanistik, dan diklasifikasikan sebagai cabang
dari perspektif eksistensial
yang dikembangkan oleh Carl Person Rogers.
Pada awal
perkembangannya, Rogers mengembangkan pendekatan konseling non-directive centered sebagai reaksi terhadap teori-teori konseling yang berkembang saat itu
yang terlalu berorientasi pada konselor (directive counseling). Tahun 1951, Rogers mengganti nama
pendekatan non direktif menjadi client-centered (Gantina K.,
dkk, 2011). Pendekatan client-centered dikembangkan sehubungan dengan perubahan pandangan
tentang konseling yang menekankan pada upaya reflektif terhadap perasaan klien.
Pada tahun 1957, Rogers mengubah kembali pendekatannya menjadi person-centered, yang memandang konseli sebagai partner dan
perlu adanya keserasian pengalaman, baik pada konseli maupun konselor dan keduanya perlu mengemukakan pengalamannya
pada saat hubungan konseling berlangsung.
Konselor dalam
pendekatan person-centered memiliki
kepercayaan bahwa konseli merupakan manusia yang memiliki worth dan dignity dalam
diri, sehingga ia layak diberikan penghargaan (respect). Konseli juga dipercaya sebagai manusia yang memiliki
kapasitas dan hal untuk mengatur dirinya sendiri, mendapat kesempatan dan
membuat penilaian yang bijaksana. Selain itu, konseli sebagai manusia
yang dapat memilih nilainya sendiri, dapat belajar untuk bertanggung jawab
secara konstruktif, memiliki kapasitas untuk mengatasi perasaan, pikiran, dan
tingkah lakunya, serta memiliki potensi untuk berubah secara konstruktif dan
dapat berkembang ke arah hidup yang penuh dan memuaskan (full dan satisfiying life) dengan kata lain aktualisasi diri (self-actualisation) (Thompson, et.al.,
2004 dalam Gantina K., dkk, 2011).
Pada pendekatan ini, konselor memberikan kepercayaan
kepada konseli sebagai manusia yang mampu menemukan dan mengatasi permasalahan
sendiri, sehingga kami berpendapat bahwa
selama proses konseling, konseli mungkin mengembangkan
pemahaman yang lebih tentang tujuan mereka sebenarnya.
Pendekatan ini juga menunjukkan hubungan konseli dan
konselor menjalin hubungan seperti partner, sehingga pendekatan person-centered dibutuhkan hubungan
interpersonal antara konselor dan klien, sehingga terbentuk kontak psikologis
yang terbangun, dan keberhasilan proses konseling pada pendekatan ini
ditentukan oleh komunikasi antara klien dan konselor.
ANALISA
Proses konseling pada pendekatan person-centered, konselor memiliki ciri pribadi atau sikap yang
diungkapkan oleh Rogers bahwa tiga ciri pribadi atau sikap konselor merupakan
bagian sentral dari hubungan terapeutik, yaitu bersikap (1) congruence atau genuineness (kongruen atau keaslian), (2) unconditional positive regard and acceptance (perhatian positif
tidak bersyarat), dan (3) accurate
empathic understanding (pemahaman
empati yang akurat) (Corey, 2005).
Sikap pertama konselor dalam pendekatan
ini adalah kongruen. Congruence (kongruensi)
kata lainnya adalah ketulusan, realness (tidak
berpura-pura), keterbukaan, transparansi, dan presence (kesadaran). Kongruensi adalah kondisi sikap yang paling
mendasar. Konselor perlu memiliki hubungan dengan perasaan-perasaan yang mereka
alami. Konselor seharusnya menghindari pendekatan intelektual yang kliennya
diperlakukan sebagai objek. Konselor yang kongruen tidak sedang memainkan peran
apa pun, mencoba bersikap sopan, atau menampakkan penampilan profesional.
Rogers mengakui bahwa tidak seorang pun setiap saat mampu mencapai kongruensi
(Richard Nelson dalam Helly P. & Sri M. Soetjipto, 2011).
Kedua, konselor memiliki perhatian
positif tidak bersyarat kepada konseli, yang bukan berarti konselor menerima
seluruh perilaku konseli, tetapi mendeskripsikan kondisi yang hangat,
memberikan perhatian, penghargaan, penerimaan, dan penghormatan yang tulus
kepada konseli pada saat proses konseling, sehingga konseli merasa dihargai
sebagai seorang manusia dan dapat menunjukkan segala perasaan dan kejadian yang
dialami dengan penerimaan dari konselor.
Berikutnya yang ketiga adalah konselor
berempati terhadap konseli. Menurut Rogers (Helly P. & Sri M. Soetjipto,
2011) empati adalah sebuah sikap, sebuah bentuk pertemanan yang sangat
istimewa, sebuah cara yang lembut dan sensitif untuk berhubungan dengan konseli.
Akan tetapi, refleksi mekanisme yang sepenuhnya disengaja sama sekali bukan
bagian dari empati.
Ketiga kondisi tersebut menggambarkan
fasilitas lingkungan sosial, yang juga terdapat kontak psikologis antara
konselor dan konseli, di mana konseli berada dalam keadaan ketidaksesuaian dan
tertekan dalam beberapa hal yang akhirnya komunikasi dengan konseli tercapai
dengan ketiga sikap konselor tersebut. Meskipun begitu, person-centered tidak secara rutin mengambil sejarah kasus,
menilai, atau mendiagnosa konseli (Stephen Joseph & David Murphy, 2013).
Berkenaan dengan sikap konselor yang
menunjukkan keaslian dalam merespon konseli pada saat proses konseling,
memberikan perhatian positif dengan tulus, dan berempati seperti yang
dijelaskan sebelumnya, pendekatan person-centered
dengan menggunakan teknik konseling kelompok dapat meningkatkan konsep diri,
mengurangi depresi dan meningkatkan ketahanan terutama dalam kasus seperti
remaja yang hamil di luar nikah (Fauziaah Sa’ad, dkk, 2014).
Selain itu, pendekatan person-centered memiliki potensi yang
sangat berguna dalam menunjukkan penderitaan psikologis dari remaja lesbi, gay, bisexual, transgender/sexual (LGBT)
selama tingkatan penyingkapan orientasi seksual. Prinsip humanistik dari
pendekatan person-centered, khususnya
yang dikenal “tiga besar” prinsip kongruensi, empati, dan perhatian positif
tidak bersyarat, dapat membantu konseli remaja LGBT dengan sebuah hubungan
terapetik yang memudahkan eksplorasi diri dan pemahaman diri (S. Jim Lemoire
& Charles P. Chen, 2005).
Pendekatan person-centered juga memfasilitasi dan memperhatikan aspek-aspek
positif dari kesehatan, ketahanan, sumber daya, dan kualitas hidup. Pendekatan
ini penting untuk pengobatan klinis, pencegahan dan rehabilitasi. Pendekatan
ini konsisten dengan definisi kesehatan yang dikeluarkan oleh organisasi
kesehatan dunia (1999), yang melihat kesehatan tidak menjadi terbatas pada
tidak adanya penyakit atau adanya penyakit, melainkan melibatkan keadaan
lengkap, yaitu fisik, sosial, dan emosional (Juan E. Mezzich, dkk, 2013).
Hal tersebut menunjukkan bahwa
pendekatan ini memberikan kontribusi juga terhadap aspek kesehatan, seperti
pada tulisan Bill Fulford, Laurie Bryant, dan Lu
Duhig (Bill Fulford, dkk, 2010) yang membahas pendekatan person-centered dari aspek bidang perawatan, alokasi sumber daya,
dan praktik etis yang sangat peduli dengan pasien. Dikatakan bahwa konseling person-centered memiliki tiga aspek yang
menjadi kunci pada proses terapi, yaitu kepentingan umum dalam konsultasi,
termasuk pasien dan perawat, serta profesional. Terapi person-centered biasanya diberikan kepada pasien yang mengalami
demensia atau pasien yang mengalami kecacatan agar mereka dapat bangkit dan
ingin belajar menerima kondisi barunya. Sehingga terapi person-centered dalam pelaksanaannya, dilaksanakan dengan program
kemitraan oleh pihak rumah sakit dan profesional lainnya.
Masalah-masalah tersebut, yang terjadi pada konseli pada
pendekatan person-centered pada
dasarnya adalah mengenai konsep diri (self
concept). Konsep diri menurut
Rogers (Corey, 2009) adalah bagian sadar dari ruang fenomenal yang disadari dan
disimbolisasikan, di mana “aku” merupakan pusat referensi setiap pengalaman.
Konsep diri merupakan bagian inti dari pengalaman individu yang secara perlahan
dibedakan dan disimbolisasikan sebagai bayangan tentang diri yang mengatakan
“apa dan siapa aku sebenarnya” dan “apa yang sebenarnya harus aku perbuat`”.
Jadi, konsep diri adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang
berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku.
Konsep diri dibagi menjadi dua, yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal. Dalam menunjukkan kedua konsep
tersebut sesuai atau tidak, Rogers (Corey, 2009) menunjukkan dua konsep yang
dinamakan incongruence dan congruence. Incongruence adalah
ketidakcocokan antara self yang
dirasakan dalam pengalaman aktual disertai pertentangan dan kekacauan batin.
Sedangkan congruence adalah situasi
pengalaman diri yang diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang
utuh, integral, dan sejati. Contohnya adalah kasus Ruth, yang menunjukkan bahwa
konsep dirinya adalah anak dan istri yang baik yang menuruti perkataan orang
tua dan suaminya. Ruth menganggap dirinya harus menjadi istri dan anak yang
baik agar orang tua dan suaminya merasa senang dengan sikapnya tersebut. Namun
pada kenyataannya kedua konsep dirinya bertentangan karena Ruth merasakan
tertekan dengan ideal self nya
tersebut yang berusaha membahagiakan suami dan orangtuanya dengan bersikap baik
namun merasa tetap tidak pernah cukup hingga Ruth terus merasa bersalah, tertekan,
dan takut ditinggalkan. Maka, dalam hal ini konselor membantunya dengan
pendekatan person-centered.
Salah satu kekuatan dari pendekatan person-centered adalah bahwa pendekatan
ini tidak dogmatik dan konselor memiliki jenjang mereka sendiri untuk mengembangkan
gaya konseling mereka sendiri. Konselor bisa menjadi person-centered dan berpraktik dengan cara yang beraneka ragam,
selama mereka menunjukkan suatu kepercayaan pada inti kondisi terapeutik dan
selama praktek mereka tidak mengintervensi kapasitas konseli untuk menemukan
sendiri jalan terbaik mereka (Corey, 2005).
Dengan
begitu, karena proses konseling pada pendekatan person-centered adalah fleksibel,
yaitu konselor mengembangkan gaya konseling mereka sendiri, maka pada pendekatan person-centered dibutuhkan hubungan interpersonal antara konselor
dan klien, sehingga terbentuk kontak psikologis yang terbangun, dan keberhasilan
proses konseling pada pendekatan ini ditentukan oleh komunikasi antara klien
dan konselor.
Corey (Gantika K., dkk, 2011) mengatakan
bahwa konselor harus memperlihatkan berbagai keterampilan interpersonal yang
dibutuhkan dalam proses konseling. Keterampilan-keterampilan tersebut antara
lain, (1) Mendengar Aktif
(Active Listening), yaitu
memperhatikan perkataan konseli, sensitif terhadap kata atau kalimat yang
diucpkan, intonasi dan bahasa tubuh konseli. (2) Mengulang
Kembali (Restating/paraphrasing),
yaitu mengulang perkataan konseli dengan kalimat yang berbeda. (3) Memperjelas (clarifying), yaitu merespon pernyataan
atau pesan konseli yang membingungkan dan tidak jelas, dengan memfokuskan pada
isu-isu utama dan membantu individu tersebut untuk menemukan dan memperjelas
perasaan-perasaannya yang bertolak belakang. (4) Menyimpulkan (Summarizing), yaitu keterampilan
konselor untuk menganalisis seluruh elemen-elemen penting yang muncul dalam
seluruh atau bagian sesi konseling. (5) Bertanya (Questioning), bertujuan untuk menggali informasi yang lebih dalam
dari konseli. (6) Menginterpretasi (Interpreting), yaitu kemampuan konselor dalam menginterpretasi
pikiran, perasaan, atau tingkah laku konseli yang bertujuan untuk memberikan
perspektif alternatif dan baru. (7) Mengkonfrontasi (Confronting), yaitu cara yang kuat untuk menantang konseli untuk
melihat dirinya secara jujur. (8) Merefleksikan Perasaan (Reflecting Feeling), yaitu kemampuan
untuk merespon terhadap esensi perkataan konseli. (9) Memberikan
Dukungan (Supporting), yaitu upaya
memberikan penguatan kepada konseli, terutama ketika mereka berhasil membuka informasi-informasi
personal.
(10) Berempati (Empathizing), yaitu kemampuan pemimpin
kelompok untuk sensitif terhadap hal-hal subyektif konseli. (11) Memfasilitasi (Facilitating), tujuannya adalah
memberdayakan konseli untuk mencapai tujuan-tujuannya. Beberapa cara yang
spesifik yang dapat dilakukan konselor dalam memfasilitasi konselinya, antara
lain, (a) memfokuskan pada resistensi dalam diri konseli membantu konseli untuk
menyadarinya, (b) mengajarkan konseli untuk memfokuskan pada dirinya dan
perasaan-perasaannya, (c) mengajarkan konseli untuk berbicara secara langsung
dan jujur, (d) menciptakan situasi yang aman yang memberikan keberanian bagi
konseli untuk mengambil resiko, (e) memberikan dukungan kepada konseli ketika
mereka mencoba tingkah laku baru, (f) membantu konseli untuk memiliki sikap
terbuka terhadap konflik, (g) membantu konseli untuk mengatasi hambatan untuk
berkomunikasi secara langsung, (h) membantu konseli untuk mengintergrasikan apa
yang mereka pelajari dalam proses konseling dan strategi untuk
mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. (12) Memulai (initiating), yaitu keterampilan untuk
memulai kegiatan dalam proses konseling, seperti diskusi, menentukan tujuan,
mencari alternatif solusi dan sebagainya. (13) Menentukan Tujuan (Setting Goals), yaitu keterampilan untuk
menentukan tujuan konseling, di sini konselor harus dapat menstimulasi
konselinya menentukan dan memperjelas tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam
konseling. (14) Mengevaluasi (Evaluating), yaitu keterampilan untuk mengevaluasi
keseluruhan proses konseling, karena evaluasi merupakan kegiatan yang
berkelanjutan.. (15) Memberikan
umpan balik (giving feedback), yaitu
keterampilan konselor untuk memberikan umpan balik yang spesifik, deskriptif
dan jujur atas dasar observasi dan reaksi terhadap tingkah laku konseli. (16) Menjaga (Protecting), yaitu upaya konselor untuk menjaga konselinya dari
kemungkinan resiko-resiko psikologis dan fisik yang tidak perlu. (17) Mendekatkan diri (Disclosing Self), yaitu kemampuan
membuka informasi-informasi personal dengan tujuan membuat konseli menjadi
lebih terbuka. (18) Mencontoh Model
(Modeling), yaitu konseli belajar
dari mengobservasi tingkah laku konselor. Untuk itu, konselor harus dapat
menampilkan nilai-nilai keujuran, penghargaan, keterbukaan, mau mengambil
resiko, dan asertif. (19) Mengakhiri
(Terminating), yaitu keterampilan
konselor untuk menentukan waktu dan cara mengakhiri kegiatan konseling.
Keterampilan
tersebut harus dimiliki konselor yang dapat digunakan pada saat proses
konseling, agar tujuan dari konseling tercapai. Tujuan dari konseling dengan
pendekatan person-centered dijawab
dengan dua cara oleh Richard Nelson (dalam Helly P. & Sri M. Soetjipto,
2011), yaitu pertama, tujuan masing-masing klien dalam terapi, dan kedua,
tujuan secara keseluruhan yang merefleksikan potensi pertumbuhan manusia.
Konseli dalam konseling person-centered bertanggung
jawab atas maksud dan tujuan yang mereka miliki. Konselor tidak memberi tahu
konseli ke mana mereka seharusnya menuju dan bagaimana cara mencapai tujuan
itu. Di awal konseling tidak ada proses asesmen dan penetapan tujuan. Konseling
person-centered memfokuskan pada
membantu konseli agar lebih dekat dengan perasaan dan proses organismic valuing-nya. Selama proses ini konseli mungkin
mengembangkan pemahaman yang lebih tentang tujuan mereka sebenarnya.
PENUTUP
Pendekatan person-centered lebih mengutamakan potensi yang dimiliki oleh
konseli dalam memecahkan permasalahnya sendiri. Hal tersebut dikarenakan, konseli
pada pendekatan ini diyakini oleh Rogers sebagai manusia yang memiliki worth dan dignity di dalam
dirinya. Oleh karenanya, konseli layak diberikan penghargaan (respect). Konseli juga dipercaya
memiliki kapasitas untuk mengatur dirinya sendiri, dan diberikan kesempatan
membuat penilaian yang bijaksana, serta dipercaya mampu memilih nilainya
sendiri.
Tiga ciri dari
sikap konselor yang dibutuhkan dan terkenal pada pendekatan person-centereddalam membantu
keberhasilan proses konseling adalah kongruen atau keaslian konselor, perhatian
positif tidak bersyarat yang diberikan konselor pada konseli, dan pemahaman
empati yang akurat.
Sikap konselor dapat membantu konseli melihat konsep dirinya dan mengatasi
apabila konsep dirinya mengalami ketidak sesuaian (incongruence).
Keberadaan
sikap konselor tersebut dilakukan agar tujuan dari konseling dapat tercapai,
diikuti dengan keterampilan interpersonal yang dimiliki konselor. Tujuan
konseling dalam pendekatan person-centered
adalah membantu konseli menemukan konsep dirinya yang lebih positif melalui
komunikasi pada saat proses konseling, dengan memandang konseli sebagai
individu yang berharga, penting, dan memiliki potensi positif dengan penerimaan
tidak bersyarat dari konselor.
DAFTAR
PUSTAKA
Corey,
Gerald. (2005). Theory and practice of
counseling and psychotherapy.(8thed). United States of America:
Thomson Brooks/Cole.
Corey,
G. (2009). Case approach to counseling
and psychotherapy. (8th ed). United States of America:
Brooks/Cole.
Fulford, B., Bryant, L., &Duhig,
L. (2010). Three keys to a shared vision of diagnostic assessment: an
initiative in person-centered care from the department of health in the UK. International journal of integrated-ISSN
1568-4156, Vol. 10.
Joseph, S. & Murphy, D.
(2013). Person Centered approach, positive psychology, and relational helping:
Building Bridges. Journal of humanistic
psychology, 53 (1), 26-51.
Komalasari,
G., Wahyuni E., Karsih. (2011). Teoridanteknikkonseling.Jakarta:
PT. Indeks.
Lemoire, S. J., & Chen, C.
P. (2005). Applying person centered counseling to sexual minority addolescents.
Journal of counseling and development,
83, 2, Pre Quest page 146.
Mezzich, J. E. Zincheko, Y. P.,
at al. (2013). Person-centered approaches in medicine: clinical tasks,
psychological paradigms, and the postnonclassical perspective. Psychology in Rusia: state of the art vol.
6, Issue 1.
Sa’ad, Fauziah M., Yuseeff,
Fatimah, at al. (2014). The effectiveness of person-centered therapy and
cognitive psychology ad-din group counseling on self-concept, depression and
resilience of pregnant out of-wedlock teenegers, social and behavioral sciences. Procedia-social and behavioral sciences, 114,
927-932.
Soetjipto,
S. M. &Soetjipto, H. P. (Eds).
(2011). Teoridanpraktikkonselingdanterapi.Yogyakarta:
PustakaPelajar.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus