Senin, 23 Februari 2015

Person Centered Therapy

Person Centered Therapy
Oleh
Neng Triyaningsih Suryaman (1726149026) , Rahayu Prihantari (1726149019),
& Reni Oktora Tarigan (1726149023)
Kelas Non reguler
S2 Bimbingan Konseling FIP
Universitas Negeri Jakarta
 


PENDAHULUAN

Pendekatan person-centered didasarkan pada suatu konsep dari psikologi humanistik, dan diklasifikasikan sebagai cabang dari perspektif eksistensial yang dikembangkan oleh Carl Person Rogers.
Pada awal perkembangannya, Rogers mengembangkan pendekatan konseling non-directive centered sebagai reaksi terhadap teori-teori konseling yang berkembang saat itu yang terlalu berorientasi pada konselor (directive counseling)Tahun 1951, Rogers mengganti nama pendekatan non direktif menjadi client-centered (Gantina K., dkk, 2011). Pendekatan client-centered dikembangkan sehubungan dengan perubahan pandangan tentang konseling yang menekankan pada upaya reflektif terhadap perasaan klien. Pada tahun 1957, Rogers mengubah kembali pendekatannya menjadi person-centered, yang memandang konseli sebagai partner dan perlu adanya keserasian pengalaman, baik pada konseli maupun konselor dan keduanya perlu mengemukakan pengalamannya pada saat hubungan konseling berlangsung.
Konselor dalam pendekatan person-centered memiliki kepercayaan bahwa konseli merupakan manusia yang memiliki worth dan dignity dalam diri, sehingga ia layak diberikan penghargaan (respect). Konseli juga dipercaya sebagai manusia yang memiliki kapasitas dan hal untuk mengatur dirinya sendiri, mendapat kesempatan dan membuat penilaian yang bijaksana. Selain itu, konseli sebagai manusia yang dapat memilih nilainya sendiri, dapat belajar untuk bertanggung jawab secara konstruktif, memiliki kapasitas untuk mengatasi perasaan, pikiran, dan tingkah lakunya, serta memiliki potensi untuk berubah secara konstruktif dan dapat berkembang ke arah hidup yang penuh dan memuaskan (full dan satisfiying life) dengan kata lain aktualisasi diri (self-actualisation) (Thompson, et.al., 2004 dalam Gantina K., dkk, 2011).
Pada pendekatan ini, konselor memberikan kepercayaan kepada konseli sebagai manusia yang mampu menemukan dan mengatasi permasalahan sendiri, sehingga kami berpendapat bahwa selama proses konseling, konseli mungkin mengembangkan pemahaman yang lebih tentang tujuan mereka sebenarnya.
Pendekatan ini juga menunjukkan hubungan konseli dan konselor menjalin hubungan seperti partner, sehingga pendekatan person-centered dibutuhkan hubungan interpersonal antara konselor dan klien, sehingga terbentuk kontak psikologis yang terbangun, dan keberhasilan proses konseling pada pendekatan ini ditentukan oleh komunikasi antara klien dan konselor.

ANALISA

Proses konseling pada pendekatan person-centered, konselor memiliki ciri pribadi atau sikap yang diungkapkan oleh Rogers bahwa tiga ciri pribadi atau sikap konselor merupakan bagian sentral dari hubungan terapeutik, yaitu bersikap (1) congruence atau genuineness (kongruen atau keaslian), (2) unconditional positive regard and acceptance (perhatian positif tidak bersyarat), dan (3) accurate empathic understanding (pemahaman empati yang akurat) (Corey, 2005).
Sikap pertama konselor dalam pendekatan ini adalah kongruen. Congruence (kongruensi) kata lainnya adalah ketulusan, realness (tidak berpura-pura), keterbukaan, transparansi, dan presence (kesadaran). Kongruensi adalah kondisi sikap yang paling mendasar. Konselor perlu memiliki hubungan dengan perasaan-perasaan yang mereka alami. Konselor seharusnya menghindari pendekatan intelektual yang kliennya diperlakukan sebagai objek. Konselor yang kongruen tidak sedang memainkan peran apa pun, mencoba bersikap sopan, atau menampakkan penampilan profesional. Rogers mengakui bahwa tidak seorang pun setiap saat mampu mencapai kongruensi (Richard Nelson dalam Helly P. & Sri M. Soetjipto, 2011).
Kedua, konselor memiliki perhatian positif tidak bersyarat kepada konseli, yang bukan berarti konselor menerima seluruh perilaku konseli, tetapi mendeskripsikan kondisi yang hangat, memberikan perhatian, penghargaan, penerimaan, dan penghormatan yang tulus kepada konseli pada saat proses konseling, sehingga konseli merasa dihargai sebagai seorang manusia dan dapat menunjukkan segala perasaan dan kejadian yang dialami dengan penerimaan dari konselor.
Berikutnya yang ketiga adalah konselor berempati terhadap konseli. Menurut Rogers (Helly P. & Sri M. Soetjipto, 2011) empati adalah sebuah sikap, sebuah bentuk pertemanan yang sangat istimewa, sebuah cara yang lembut dan sensitif untuk berhubungan dengan konseli. Akan tetapi, refleksi mekanisme yang sepenuhnya disengaja sama sekali bukan bagian dari empati.
Ketiga kondisi tersebut menggambarkan fasilitas lingkungan sosial, yang juga terdapat kontak psikologis antara konselor dan konseli, di mana konseli berada dalam keadaan ketidaksesuaian dan tertekan dalam beberapa hal yang akhirnya komunikasi dengan konseli tercapai dengan ketiga sikap konselor tersebut. Meskipun begitu, person-centered tidak secara rutin mengambil sejarah kasus, menilai, atau mendiagnosa konseli (Stephen Joseph & David Murphy, 2013).
Berkenaan dengan sikap konselor yang menunjukkan keaslian dalam merespon konseli pada saat proses konseling, memberikan perhatian positif dengan tulus, dan berempati seperti yang dijelaskan sebelumnya, pendekatan person-centered dengan menggunakan teknik konseling kelompok dapat meningkatkan konsep diri, mengurangi depresi dan meningkatkan ketahanan terutama dalam kasus seperti remaja yang hamil di luar nikah (Fauziaah Sa’ad, dkk, 2014).
Selain itu, pendekatan person-centered memiliki potensi yang sangat berguna dalam menunjukkan penderitaan psikologis dari remaja lesbi, gay, bisexual, transgender/sexual (LGBT) selama tingkatan penyingkapan orientasi seksual. Prinsip humanistik dari pendekatan person-centered, khususnya yang dikenal “tiga besar” prinsip kongruensi, empati, dan perhatian positif tidak bersyarat, dapat membantu konseli remaja LGBT dengan sebuah hubungan terapetik yang memudahkan eksplorasi diri dan pemahaman diri (S. Jim Lemoire & Charles P. Chen, 2005).
Pendekatan person-centered juga memfasilitasi dan memperhatikan aspek-aspek positif dari kesehatan, ketahanan, sumber daya, dan kualitas hidup. Pendekatan ini penting untuk pengobatan klinis, pencegahan dan rehabilitasi. Pendekatan ini konsisten dengan definisi kesehatan yang dikeluarkan oleh organisasi kesehatan dunia (1999), yang melihat kesehatan tidak menjadi terbatas pada tidak adanya penyakit atau adanya penyakit, melainkan melibatkan keadaan lengkap, yaitu fisik, sosial, dan emosional (Juan E. Mezzich, dkk, 2013).
Hal tersebut menunjukkan bahwa pendekatan ini memberikan kontribusi juga terhadap aspek kesehatan, seperti pada tulisan Bill Fulford, Laurie Bryant, dan  Lu Duhig (Bill Fulford, dkk, 2010) yang membahas pendekatan person-centered dari aspek bidang perawatan, alokasi sumber daya, dan praktik etis yang sangat peduli dengan pasien. Dikatakan bahwa konseling person-centered memiliki tiga aspek yang menjadi kunci pada proses terapi, yaitu kepentingan umum dalam konsultasi, termasuk pasien dan perawat, serta profesional. Terapi person-centered biasanya diberikan kepada pasien yang mengalami demensia atau pasien yang mengalami kecacatan agar mereka dapat bangkit dan ingin belajar menerima kondisi barunya. Sehingga terapi person-centered dalam pelaksanaannya, dilaksanakan dengan program kemitraan oleh pihak rumah sakit dan profesional lainnya.
Masalah-masalah tersebut, yang terjadi pada konseli pada pendekatan person-centered pada dasarnya adalah mengenai konsep diri (self concept). Konsep diri menurut Rogers (Corey, 2009) adalah bagian sadar dari ruang fenomenal yang disadari dan disimbolisasikan, di mana “aku” merupakan pusat referensi setiap pengalaman. Konsep diri merupakan bagian inti dari pengalaman individu yang secara perlahan dibedakan dan disimbolisasikan sebagai bayangan tentang diri yang mengatakan “apa dan siapa aku sebenarnya” dan “apa yang sebenarnya harus aku perbuat`”. Jadi, konsep diri adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku.
Konsep diri dibagi menjadi dua, yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal. Dalam menunjukkan kedua konsep tersebut sesuai atau tidak, Rogers (Corey, 2009) menunjukkan dua konsep yang dinamakan incongruence dan congruence. Incongruence adalah ketidakcocokan antara self yang dirasakan dalam pengalaman aktual disertai pertentangan dan kekacauan batin. Sedangkan congruence adalah situasi pengalaman diri yang diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang utuh, integral, dan sejati. Contohnya adalah kasus Ruth, yang menunjukkan bahwa konsep dirinya adalah anak dan istri yang baik yang menuruti perkataan orang tua dan suaminya. Ruth menganggap dirinya harus menjadi istri dan anak yang baik agar orang tua dan suaminya merasa senang dengan sikapnya tersebut. Namun pada kenyataannya kedua konsep dirinya bertentangan karena Ruth merasakan tertekan dengan ideal self nya tersebut yang berusaha membahagiakan suami dan orangtuanya dengan bersikap baik namun merasa tetap tidak pernah cukup hingga Ruth terus merasa bersalah, tertekan, dan takut ditinggalkan. Maka, dalam hal ini konselor membantunya dengan pendekatan person-centered.
Salah satu kekuatan dari pendekatan person-centered adalah bahwa pendekatan ini tidak dogmatik dan konselor memiliki jenjang mereka sendiri untuk mengembangkan gaya konseling mereka sendiri. Konselor bisa menjadi person-centered dan berpraktik dengan cara yang beraneka ragam, selama mereka menunjukkan suatu kepercayaan pada inti kondisi terapeutik dan selama praktek mereka tidak mengintervensi kapasitas konseli untuk menemukan sendiri jalan terbaik mereka (Corey, 2005).
            Dengan begitu, karena proses konseling pada pendekatan person-centered  adalah fleksibel, yaitu konselor mengembangkan gaya konseling mereka sendiri, maka pada pendekatan person-centered dibutuhkan hubungan interpersonal antara konselor dan klien, sehingga terbentuk kontak psikologis yang terbangun, dan keberhasilan proses konseling pada pendekatan ini ditentukan oleh komunikasi antara klien dan konselor.
Corey (Gantika K., dkk, 2011) mengatakan bahwa konselor harus memperlihatkan berbagai keterampilan interpersonal yang dibutuhkan dalam proses konseling. Keterampilan-keterampilan tersebut antara lain, (1) Mendengar Aktif (Active Listening), yaitu memperhatikan perkataan konseli, sensitif terhadap kata atau kalimat yang diucpkan, intonasi dan bahasa tubuh konseli. (2) Mengulang Kembali (Restating/paraphrasing), yaitu mengulang perkataan konseli dengan kalimat yang berbeda. (3) Memperjelas (clarifying), yaitu merespon pernyataan atau pesan konseli yang membingungkan dan tidak jelas, dengan memfokuskan pada isu-isu utama dan membantu individu tersebut untuk menemukan dan memperjelas perasaan-perasaannya yang bertolak belakang. (4) Menyimpulkan (Summarizing), yaitu keterampilan konselor untuk menganalisis seluruh elemen-elemen penting yang muncul dalam seluruh atau bagian sesi konseling. (5) Bertanya (Questioning), bertujuan untuk menggali informasi yang lebih dalam dari konseli. (6) Menginterpretasi (Interpreting), yaitu kemampuan konselor dalam menginterpretasi pikiran, perasaan, atau tingkah laku konseli yang bertujuan untuk memberikan perspektif alternatif dan baru. (7) Mengkonfrontasi (Confronting), yaitu cara yang kuat untuk menantang konseli untuk melihat dirinya secara jujur. (8) Merefleksikan Perasaan (Reflecting Feeling), yaitu kemampuan untuk merespon terhadap esensi perkataan konseli. (9) Memberikan Dukungan (Supporting), yaitu upaya memberikan penguatan kepada konseli, terutama ketika mereka berhasil membuka informasi-informasi personal. (10) Berempati (Empathizing), yaitu kemampuan pemimpin kelompok untuk sensitif terhadap hal-hal subyektif konseli. (11) Memfasilitasi (Facilitating), tujuannya adalah memberdayakan konseli untuk mencapai tujuan-tujuannya. Beberapa cara yang spesifik yang dapat dilakukan konselor dalam memfasilitasi konselinya, antara lain, (a) memfokuskan pada resistensi dalam diri konseli membantu konseli untuk menyadarinya, (b) mengajarkan konseli untuk memfokuskan pada dirinya dan perasaan-perasaannya, (c) mengajarkan konseli untuk berbicara secara langsung dan jujur, (d) menciptakan situasi yang aman yang memberikan keberanian bagi konseli untuk mengambil resiko, (e) memberikan dukungan kepada konseli ketika mereka mencoba tingkah laku baru, (f) membantu konseli untuk memiliki sikap terbuka terhadap konflik, (g) membantu konseli untuk mengatasi hambatan untuk berkomunikasi secara langsung, (h) membantu konseli untuk mengintergrasikan apa yang mereka pelajari dalam proses konseling dan strategi untuk mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. (12) Memulai (initiating), yaitu keterampilan untuk memulai kegiatan dalam proses konseling, seperti diskusi, menentukan tujuan, mencari alternatif solusi dan sebagainya.  (13) Menentukan Tujuan (Setting Goals), yaitu keterampilan untuk menentukan tujuan konseling, di sini konselor harus dapat menstimulasi konselinya menentukan dan memperjelas tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam konseling. (14) Mengevaluasi (Evaluating), yaitu keterampilan untuk mengevaluasi keseluruhan proses konseling, karena evaluasi merupakan kegiatan yang berkelanjutan.. (15) Memberikan umpan balik (giving feedback), yaitu keterampilan konselor untuk memberikan umpan balik yang spesifik, deskriptif dan jujur atas dasar observasi dan reaksi terhadap tingkah laku konseli. (16) Menjaga (Protecting), yaitu upaya konselor untuk menjaga konselinya dari kemungkinan resiko-resiko psikologis dan fisik yang tidak perlu. (17) Mendekatkan diri (Disclosing Self), yaitu kemampuan membuka informasi-informasi personal dengan tujuan membuat konseli menjadi lebih terbuka. (18) Mencontoh Model (Modeling), yaitu konseli belajar dari mengobservasi tingkah laku konselor. Untuk itu, konselor harus dapat menampilkan nilai-nilai keujuran, penghargaan, keterbukaan, mau mengambil resiko, dan asertif. (19) Mengakhiri (Terminating), yaitu keterampilan konselor untuk menentukan waktu dan cara mengakhiri kegiatan konseling.
                  Keterampilan tersebut harus dimiliki konselor yang dapat digunakan pada saat proses konseling, agar tujuan dari konseling tercapai. Tujuan dari konseling dengan pendekatan person-centered dijawab dengan dua cara oleh Richard Nelson (dalam Helly P. & Sri M. Soetjipto, 2011), yaitu pertama, tujuan masing-masing klien dalam terapi, dan kedua, tujuan secara keseluruhan yang merefleksikan potensi pertumbuhan manusia. Konseli dalam konseling person-centered bertanggung jawab atas maksud dan tujuan yang mereka miliki. Konselor tidak memberi tahu konseli ke mana mereka seharusnya menuju dan bagaimana cara mencapai tujuan itu. Di awal konseling tidak ada proses asesmen dan penetapan tujuan. Konseling person-centered memfokuskan pada membantu konseli agar lebih dekat dengan perasaan dan proses organismic valuing-nya. Selama proses ini konseli mungkin mengembangkan pemahaman yang lebih tentang tujuan mereka sebenarnya.
PENUTUP

Pendekatan person-centered lebih mengutamakan potensi yang dimiliki oleh konseli dalam memecahkan permasalahnya sendiri. Hal tersebut dikarenakan, konseli pada pendekatan ini diyakini oleh Rogers sebagai manusia yang memiliki worth dan dignity di dalam dirinya. Oleh karenanya, konseli layak diberikan penghargaan (respect). Konseli juga dipercaya memiliki kapasitas untuk mengatur dirinya sendiri, dan diberikan kesempatan membuat penilaian yang bijaksana, serta dipercaya mampu memilih nilainya sendiri.  
Tiga ciri dari sikap konselor yang dibutuhkan dan terkenal pada pendekatan person-centereddalam membantu keberhasilan proses konseling adalah kongruen atau keaslian konselor, perhatian positif tidak bersyarat yang diberikan konselor pada konseli, dan pemahaman empati yang akurat. Sikap konselor dapat membantu konseli melihat konsep dirinya dan mengatasi apabila konsep dirinya mengalami ketidak sesuaian (incongruence).
Keberadaan sikap konselor tersebut dilakukan agar tujuan dari konseling dapat tercapai, diikuti dengan keterampilan interpersonal yang dimiliki konselor. Tujuan konseling dalam pendekatan person-centered adalah membantu konseli menemukan konsep dirinya yang lebih positif melalui komunikasi pada saat proses konseling, dengan memandang konseli sebagai individu yang berharga, penting, dan memiliki potensi positif dengan penerimaan tidak bersyarat dari konselor.













DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. (2005). Theory and practice of counseling and psychotherapy.(8thed). United States of America: Thomson Brooks/Cole.
Corey, G. (2009). Case approach to counseling and psychotherapy. (8th ed). United States of America: Brooks/Cole.
Fulford, B., Bryant, L., &Duhig, L. (2010). Three keys to a shared vision of diagnostic assessment: an initiative in person-centered care from the department of health in the UK. International journal of integrated-ISSN 1568-4156, Vol. 10.
Joseph, S. & Murphy, D. (2013). Person Centered approach, positive psychology, and relational helping: Building Bridges. Journal of humanistic psychology, 53 (1), 26-51.
Komalasari, G., Wahyuni E., Karsih. (2011). Teoridanteknikkonseling.Jakarta: PT. Indeks.
Lemoire, S. J., & Chen, C. P. (2005). Applying person centered counseling to sexual minority addolescents. Journal of counseling and development, 83, 2, Pre Quest page 146.
Mezzich, J. E. Zincheko, Y. P., at al. (2013). Person-centered approaches in medicine: clinical tasks, psychological paradigms, and the postnonclassical perspective. Psychology in Rusia: state of the art vol. 6, Issue 1.
Sa’ad, Fauziah M., Yuseeff, Fatimah, at al. (2014). The effectiveness of person-centered therapy and cognitive psychology ad-din group counseling on self-concept, depression and resilience of pregnant out of-wedlock teenegers, social and behavioral sciences. Procedia-social and behavioral sciences, 114, 927-932.
Soetjipto, S. M. &Soetjipto, H. P.  (Eds). (2011). Teoridanpraktikkonselingdanterapi.Yogyakarta: PustakaPelajar.










1 komentar: